UU No 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN 2008
TENTANG
PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT,
DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai penyalur
aspirasi politik rakyat serta anggota Dewan Perwakilan
Daerah sebagai penyalur aspirasi keanekaragaman daerah
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 22E ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, diselenggarakan pemilihan umum;
b. bahwa pemilihan umum secara langsung oleh rakyat
merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna
menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
c. bahwa dengan adanya Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2006 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Menjadi Undang-Undang dan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum serta
adanya perkembangan demokrasi dan dinamika masyarakat,
maka Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
perlu diganti;
d. bahwa . . .
- 2 -
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk
Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah;
Mengingat : 1. Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 2 ayat (1), Pasal 5
ayat (1), Pasal 18 ayat (3), Pasal 19 ayat (1), Pasal 20,
Pasal 22C ayat (1) dan ayat (2), Pasal 22E, Pasal 24, Pasal
24A, Pasal 24C, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal
28D ayat (1), dan Pasal 30 ayat (4) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 59, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4721);
3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4801);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN
DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pemilihan . . .
- 3 -
1. Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah
sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah adalah Pemilu untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
3. Dewan Perwakilan Rakyat, selanjutnya disebut DPR,
adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
4. Dewan Perwakilan Daerah, selanjutnya disebut DPD,
adalah Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disebut
DPRD, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
6. Komisi Pemilihan Umum, selanjutnya disebut KPU,
adalah lembaga penyelenggara Pemilu yang bersifat
nasional, tetap, dan mandiri.
7. Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan
Umum Kabupaten/Kota, selanjutnya disebut KPU
provinsi dan KPU kabupaten/kota, adalah penyelenggara
Pemilu di provinsi dan kabupaten/kota.
8. Panitia Pemilihan Kecamatan, selanjutnya disebut PPK,
adalah panitia yang dibentuk oleh KPU kabupaten/kota
untuk menyelenggarakan Pemilu di tingkat kecamatan
atau sebutan lain, yang selanjutnya disebut kecamatan.
9. Panitia . . .
- 4 -
9. Panitia Pemungutan Suara, selanjutnya disebut PPS,
adalah panitia yang dibentuk oleh KPU kabupaten/kota
untuk menyelenggarakan Pemilu di tingkat desa atau
sebutan lain/kelurahan, yang selanjutnya disebut
desa/kelurahan.
10. Panitia Pemilihan Luar Negeri, selanjutnya disebut PPLN,
adalah panitia yang dibentuk oleh KPU untuk
menyelenggarakan Pemilu di luar negeri.
11. Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara, selanjutnya
disebut KPPS, adalah kelompok yang dibentuk oleh PPS
untuk menyelenggarakan pemungutan suara di tempat
pemungutan suara.
12. Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri,
selanjutnya disebut KPPSLN, adalah kelompok yang
dibentuk oleh PPLN untuk menyelenggarakan
pemungutan suara di tempat pemungutan suara di luar
negeri.
13. Tempat Pemungutan Suara, selanjutnya disebut TPS,
adalah tempat dilaksanakannya pemungutan suara.
14. Tempat Pemungutan Suara Luar Negeri, selanjutnya
disebut TPSLN, adalah tempat dilaksanakannya
pemungutan suara di luar negeri.
15. Badan Pengawas Pemilu, selanjutnya disebut Bawaslu,
adalah badan yang bertugas mengawasi penyelenggaraan
Pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
16. Panitia Pengawas Pemilu Provinsi dan Panitia Pengawas
Pemilu Kabupaten/Kota, selanjutnya disebut Panwaslu
provinsi dan Panwaslu kabupaten/kota, adalah panitia
yang dibentuk oleh Bawaslu untuk mengawasi
penyelenggaraan Pemilu di wilayah provinsi dan
kabupaten/kota.
17. Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan, selanjutnya disebut
Panwaslu kecamatan, adalah panitia yang dibentuk oleh
Panwaslu kabupaten/kota untuk mengawasi
penyelenggaraan Pemilu di wilayah kecamatan.
18. Pengawas . . .
- 5 -
18. Pengawas Pemilu Lapangan adalah petugas yang
dibentuk oleh Panwaslu kecamatan untuk mengawasi
penyelenggaraan Pemilu di desa/kelurahan.
19. Pengawas Pemilu Luar Negeri adalah petugas yang
dibentuk oleh Bawaslu untuk mengawasi
penyelenggaraan Pemilu di luar negeri.
20. Penduduk adalah Warga Negara Indonesia yang
berdomisili di wilayah Republik Indonesia atau di luar
negeri.
21. Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa
Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan
dengan undang-undang sebagai warga negara.
22. Pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang telah genap
berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau
sudah/pernah kawin.
23. Peserta Pemilu adalah partai politik untuk Pemilu anggota
DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dan
perseorangan untuk Pemilu anggota DPD.
24. Partai Politik Peserta Pemilu adalah partai politik yang
telah memenuhi persyaratan sebagai Peserta Pemilu.
25. Perseorangan Peserta Pemilu adalah perseorangan yang
telah memenuhi persyaratan sebagai Peserta Pemilu.
26. Kampanye Pemilu adalah kegiatan Peserta Pemilu untuk
meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi,
dan program Peserta Pemilu.
27. Bilangan Pembagi Pemilihan bagi kursi DPR, selanjutnya
disebut BPP DPR, adalah bilangan yang diperoleh dari
pembagian jumlah suara sah seluruh Partai Politik
Peserta Pemilu yang memenuhi ambang batas perolehan
suara 2,5% (dua koma lima perseratus) dari suara sah
secara nasional di satu daerah pemilihan dengan jumlah
kursi di suatu daerah pemilihan untuk menentukan
jumlah perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu.
28. Bilangan . . .
- 6 -
28. Bilangan Pembagi Pemilihan bagi kursi DPRD,
selanjutnya disebut BPP DPRD, adalah bilangan yang
diperoleh dari pembagian jumlah suara sah dengan
jumlah kursi di suatu daerah pemilihan untuk
menentukan jumlah perolehan kursi Partai Politik Peserta
Pemilu dan terpilihnya anggota DPRD provinsi dan DPRD
kabupaten/kota.
BAB II
ASAS, PELAKSANAAN, DAN
LEMBAGA PENYELENGGARA PEMILU
Pasal 2
Pemilu dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan
asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Pasal 3
Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Pasal 4
(1) Pemilu dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali.
(2) Tahapan penyelenggaraan Pemilu meliputi:
a. pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar
pemilih;
b. pendaftaran Peserta Pemilu;
c. penetapan Peserta Pemilu;
d. penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah
pemilihan;
e. pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota;
f. masa kampanye;
g. masa tenang;
h. pemungutan dan penghitungan suara;
i. penetapan hasil Pemilu; dan
j. pengucapan sumpah/janji anggota DPR, DPD, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
(3) Pemungutan . . .
- 7 -
(3) Pemungutan suara dilaksanakan pada hari libur atau
hari yang diliburkan.
Pasal 5
(1) Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem
proporsional terbuka.
(2) Pemilu untuk memilih anggota DPD dilaksanakan dengan
sistem distrik berwakil banyak.
Pasal 6
(1) Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota diselenggarakan oleh KPU.
(2) Pengawasan penyelenggaraan Pemilu dilaksanakan oleh
Bawaslu.
BAB III
PESERTA DAN PERSYARATAN MENGIKUTI PEMILU
Bagian Kesatu
Peserta Pemilu Anggota DPR dan DPRD
Pasal 7
Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota adalah partai politik.
Pasal 8
(1) Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah
memenuhi persyaratan:
a. berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-
Undang tentang Partai Politik;
b. memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah
provinsi;
c. memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah
kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;
d. menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh
perseratus) keterwakilan perempuan pada
kepengurusan partai politik tingkat pusat;
e. memiliki . . .
- 8 -
e. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu)
orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah
Penduduk pada setiap kepengurusan partai politik
sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c
yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda
anggota;
f. mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan
sebagaimana pada huruf b dan huruf c; dan
g. mengajukan nama dan tanda gambar partai politik
kepada KPU.
(2) Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu sebelumnya
dapat menjadi Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya.
Pasal 9
(1) KPU melaksanakan penelitian dan penetapan keabsahan
syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penelitian dan
penetapan keabsahan syarat-syarat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan KPU.
Pasal 10
Nama dan tanda gambar partai politik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1) huruf g dilarang sama dengan:
a. bendera atau lambang negara Republik Indonesia;
b. lambang lembaga negara atau lambang pemerintah;
c. nama, bendera, lambang negara lain atau lembaga/badan
internasional;
d. nama, bendera, simbol organisasi gerakan separatis atau
organisasi terlarang;
e. nama atau gambar seseorang; atau
f. yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau
keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda
gambar partai politik lain.
Bagian Kedua . . .
- 9 -
Bagian Kedua
Peserta Pemilu Anggota DPD
Pasal 11
(1) Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah
perseorangan.
(2) Perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan.
Pasal 12
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2):
a. Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh
satu) tahun atau lebih;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
d. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa
Indonesia;
e. berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas
(SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain
yang sederajat;
f. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan
cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945;
g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan
pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
h. sehat jasmani dan rohani;
i. terdaftar sebagai pemilih;
j. bersedia bekerja penuh waktu;
k. mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota
Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha milik
negara dan/atau badan usaha milik daerah, serta badan
lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara,
yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak
dapat ditarik kembali;
l. bersedia . . .
- 10 -
l. bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik,
advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah
(PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang
dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta
pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik
kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai
anggota DPD sesuai peraturan perundang-undangan;
m. bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabatnegara
lainnya, pengurus pada badan usaha milik negara,
dan badan usaha milik daerah, serta badan lain yang
anggarannya bersumber dari keuangan negara;
n. mencalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan;
o. mencalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan; dan
p. mendapat dukungan minimal dari pemilih dari daerah
pemilihan yang bersangkutan.
Pasal 13
(1) Persyaratan dukungan minimal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 huruf p meliputi:
a. provinsi yang berpenduduk sampai dengan 1.000.000
(satu juta) orang harus mendapatkan dukungan dari
paling sedikit 1.000 (seribu) pemilih;
b. provinsi yang berpenduduk lebih dari 1.000.000 (satu
juta) sampai dengan 5.000.000 (lima juta) orang harus
mendapatkan dukungan dari paling sedikit 2.000 (dua
ribu) pemilih;
c. provinsi yang berpenduduk lebih dari 5.000.000 (lima
juta) sampai dengan 10.000.000 (sepuluh juta) orang
harus mendapatkan dukungan dari paling sedikit
3.000 (tiga ribu) pemilih;
d. provinsi yang berpenduduk lebih dari 10.000.000
(sepuluh juta) sampai dengan 15.000.000 (lima belas
juta) orang harus mendapatkan dukungan dari paling
sedikit 4.000 (empat ribu) pemilih; dan
e. provinsi yang berpenduduk lebih dari 15.000.000 (lima
belas juta) orang harus mendapatkan dukungan dari
paling sedikit 5.000 (lima ribu) pemilih.
(2) Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebar
di paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah
kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan.
(3) Persyaratan . . .
- 11 -
(3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dibuktikan dengan daftar dukungan yang
dibubuhi tanda tangan atau cap jempol dan dilengkapi
fotokopi kartu tanda penduduk setiap pendukung.
(4) Seorang pendukung tidak dibolehkan memberikan
dukungan kepada lebih dari satu orang calon anggota
DPD.
(5) Dukungan yang diberikan kepada lebih dari satu orang
calon anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dinyatakan batal.
(6) Jadwal waktu pendaftaran Peserta Pemilu anggota DPD
ditetapkan oleh KPU.
Bagian Ketiga
Pendaftaran Partai Politik sebagai Calon Peserta Pemilu
Pasal 14
(1) Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu dengan
mengajukan pendaftaran untuk menjadi calon Peserta
Pemilu kepada KPU.
(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan dengan surat yang ditandatangani oleh ketua
umum dan sekretaris jenderal atau sebutan lain pada
kepengurusan pusat partai politik.
(3) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilengkapi dengan dokumen persyaratan.
(4) Jadwal waktu pendaftaran Partai Politik Peserta Pemilu
ditetapkan oleh KPU.
Pasal 15
Dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (3) meliputi:
a. Berita Negara Republik Indonesia yang memuat tanda
terdaftar bahwa partai politik tersebut menjadi badan
hukum;
b. keputusan pengurus pusat partai politik tentang pengurus
tingkat provinsi dan pengurus tingkat kabupaten/kota;
c. surat . . .
- 12 -
c. surat keterangan dari pengurus pusat partai politik tentang
kantor dan alamat tetap pengurus tingkat pusat, pengurus
tingkat provinsi, dan pengurus tingkat kabupaten/kota;
d. surat keterangan dari pengurus pusat partai politik tentang
penyertaan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya
30% (tiga puluh perseratus) sesuai dengan peraturan
perundang-undangan;
e. surat keterangan tentang pendaftaran nama, lambang, dan
tanda gambar partai politik dari departemen; dan
f. surat keterangan mengenai perolehan kursi partai politik di
DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari KPU.
Bagian Keempat
Verifikasi Partai Politik Calon Peserta Pemilu
Pasal 16
(1) KPU melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan
kebenaran persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15.
(2) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
selesai dilaksanakan paling lambat 9 (sembilan) bulan
sebelum hari/tanggal pemungutan suara.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan dan waktu
verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan peraturan KPU.
Bagian Kelima
Penetapan Partai Politik sebagai Peserta Pemilu
Pasal 17
(1) Partai politik calon Peserta Pemilu yang lulus verifikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ditetapkan
sebagai Peserta Pemilu oleh KPU.
(2) Penetapan partai politik sebagai Peserta Pemilu dilakukan
dalam sidang pleno KPU.
(3) Penetapan nomor urut partai politik sebagai Peserta
Pemilu dilakukan secara undi dalam sidang pleno KPU
terbuka dan dihadiri oleh wakil seluruh Partai Politik
Peserta Pemilu.
(4) Hasil . . .
- 13 -
(4) Hasil penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3) diumumkan oleh KPU.
Bagian Keenam
Pengawasan atas Pelaksanaan Verifikasi
Partai Politik Calon Peserta Pemilu
Pasal 18
(1) Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu
kabupaten/kota melakukan pengawasan atas
pelaksanaan verifikasi partai politik calon Peserta Pemilu
yang dilaksanakan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU
kabupaten/kota.
(2) Dalam hal Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu
kabupaten/kota menemukan kesengajaan atau kelalaian
yang dilakukan oleh anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU
kabupaten/kota dalam melaksanakan verifikasi sehingga
merugikan dan/atau menguntungkan partai politik calon
Peserta Pemilu, maka Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan
Panwaslu kabupaten/kota menyampaikan temuan
tersebut kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU
kabupaten/kota.
(3) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota wajib
menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan
Panwaslu kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada
ayat (2).
BAB IV
HAK MEMILIH
Pasal 19
(1) Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan
suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau
lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.
(2) Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) didaftar oleh penyelenggara Pemilu dalam daftar
pemilih.
Pasal 20 . . .
- 14 -
Pasal 20
Untuk dapat menggunakan hak memilih, Warga Negara
Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih.
BAB V
JUMLAH KURSI DAN DAERAH PEMILIHAN
Bagian Kesatu
Jumlah Kursi dan Daerah Pemilihan Anggota DPR
Pasal 21
Jumlah kursi anggota DPR ditetapkan sebanyak 560 (lima
ratus enam puluh).banyak
Pasal 22
(1) Daerah pemilihan anggota DPR adalah provinsi atau
bagian provinsi.
(2) Jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPR paling
sedikit 3 (tiga) kursi dan paling banyak 10 (sepuluh)
kursi.
(3) Penentuan daerah pemilihan anggota DPR dilakukan
dengan mengubah ketentuan daerah pemilihan pada
Pemilu 2004 berdasarkan ketentuan pada ayat (2).
(4) Daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
merupakan lampiran yang tidak terpisahkan dari
Undang-Undang ini.
Bagian Kedua
Jumlah Kursi dan Daerah Pemilihan Anggota DPRD Provinsi
Pasal 23
(1) Jumlah kursi DPRD provinsi ditetapkan paling sedikit 35
(tiga puluh lima) dan paling banyak 100 (seratus).
(2) Jumlah kursi DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) didasarkan pada jumlah Penduduk provinsi yang
bersangkutan dengan ketentuan:
a. provinsi . . .
- 15 -
a. provinsi dengan jumlah Penduduk sampai dengan
1.000.000 (satu juta) jiwa memperoleh alokasi 35 (tiga
puluh lima) kursi;
b. provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari
1.000.000 (satu juta) sampai dengan 3.000.000 (tiga
juta) jiwa memperoleh alokasi 45 (empat puluh lima)
kursi;
c. provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari
3.000.000 (tiga juta) sampai dengan 5.000.000 (lima
juta) jiwa memperoleh alokasi 55 (lima puluh lima)
kursi;
d. provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari
5.000.000 (lima juta) sampai dengan 7.000.000 (tujuh
juta) jiwa memperoleh alokasi 65 (enam puluh lima)
kursi;
e. provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari
7.000.000 (tujuh juta) sampai dengan 9.000.000
(sembilan juta) jiwa memperoleh alokasi 75 (tujuh
puluh lima) kursi;
f. provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari
9.000.000 (sembilan juta) sampai dengan 11.000.000
(sebelas juta) jiwa memperoleh alokasi 85 (delapan
puluh lima) kursi; dan
g. provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari
11.000.000 (sebelas juta) jiwa memperoleh alokasi 100
(seratus) kursi.
Pasal 24
(1) Daerah pemilihan anggota DPRD provinsi adalah
kabupaten/kota atau gabungan kabupaten/kota.
(2) Jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD
provinsi ditetapkan sama dengan Pemilu sebelumnya.
Pasal 25
(1) Jumlah kursi anggota DPRD provinsi yang dibentuk
setelah Pemilu ditetapkan berdasarkan ketentuan dalam
Undang-Undang ini.
(2) Alokasi kursi pada daerah pemilihan anggota DPRD
provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan
paling sedikit 3 (tiga) kursi dan paling banyak 12 (dua
belas) kursi.
(3) Dalam . . .
- 16 -
(3) Dalam hal terjadi pembentukan provinsi baru setelah
Pemilu, dilakukan penataan daerah pemilihan di provinsi
induk sesuai dengan jumlah Penduduk berdasarkan
alokasi kursi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Penataan daerah pemilihan di provinsi induk dan
pembentukan daerah pemilihan di provinsi baru
dilakukan untuk Pemilu berikutnya.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai alokasi kursi dan daerah
pemilihan anggota DPRD provinsi ditetapkan dalam
peraturan KPU.
Bagian Ketiga
Jumlah Kursi dan Daerah Pemilihan Anggota DPRD Kabupaten/Kota
Pasal 26
(1) Jumlah kursi DPRD kabupaten/kota ditetapkan paling
sedikit 20 (dua puluh) dan paling banyak 50 (lima puluh).
(2) Jumlah kursi DPRD kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada jumlah
Penduduk kabupaten/kota yang bersangkutan dengan
ketentuan:
a. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk sampai
dengan 100.000 (seratus ribu) jiwa memperoleh
alokasi 20 (dua puluh) kursi;
b. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari
100.000 (seratus ribu) sampai dengan 200.000 (dua
ratus ribu) jiwa memperoleh alokasi 25 (dua puluh
lima) kursi;
c. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari
200.000 (dua ratus ribu) sampai dengan 300.000 (tiga
ratus ribu) jiwa memperoleh alokasi 30 (tiga puluh)
kursi;
d. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari
300.000 (tiga ratus ribu) sampai dengan 400.000
(empat ratus ribu) jiwa memperoleh alokasi 35 (tiga
puluh lima) kursi;
e. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari
400.000 (empat ratus ribu) sampai dengan 500.000
(lima ratus ribu) jiwa memperoleh alokasi 40 (empat
puluh) kursi;
f. kabupaten/kota . . .
- 17 -
f. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari
500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 1.000.000
(satu juta) jiwa memperoleh alokasi 45 (empat puluh
lima) kursi; dan
g. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari
1.000.000 (satu juta) jiwa memperoleh alokasi 50 (lima
puluh) kursi.
Pasal 27
(1) Daerah pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota adalah
kecamatan atau gabungan kecamatan.
(2) Jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD
kabupaten/kota ditetapkan sama dengan Pemilu
sebelumnya.
(3) Jumlah kursi anggota DPRD kabupaten/kota di
kabupaten/kota yang memiliki jumlah penduduk lebih
dari 1.000.000 (satu juta) jiwa berlaku ketentuan Pasal 26
ayat (2) huruf g.
(4) Penambahan jumlah kursi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 ayat (2) huruf g diberikan kepada daerah
pemilihan yang memiliki jumlah penduduk terbanyak
secara berurutan.
Pasal 28
(1) Dalam hal terjadi bencana yang mengakibatkan hilangnya
daerah pemilihan, daerah pemilihan tersebut dihapuskan.
(2) Alokasi kursi akibat hilangnya daerah pemilihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperhitungkan
kembali sesuai dengan jumlah Penduduk.
Pasal 29
(1) Jumlah kursi anggota DPRD kabupaten/kota yang
dibentuk setelah Pemilu ditetapkan berdasarkan
ketentuan dalam Undang-Undang ini.
(2) Alokasi kursi pada daerah pemilihan anggota DPRD
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditentukan paling sedikit 3 (tiga) kursi dan paling banyak
12 (dua belas) kursi.
(3) Dalam . . .
- 18 -
(3) Dalam hal terjadi pembentukan kabupaten/kota baru
setelah Pemilu, dilakukan penataan daerah pemilihan di
kabupaten/kota induk sesuai dengan jumlah penduduk
berdasarkan alokasi kursi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2).
(4) Penataan daerah pemilihan di kabupaten/kota induk dan
pembentukan daerah pemilihan di kabupaten/kota baru
dilakukan untuk Pemilu berikutnya.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai alokasi kursi dan daerah
pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota ditetapkan
dalam peraturan KPU.
Bagian Keempat
Jumlah Kursi dan Daerah Pemilihan Anggota DPD
Pasal 30
Jumlah kursi anggota DPD untuk setiap provinsi ditetapkan
4 (empat).
Pasal 31
Daerah pemilihan untuk anggota DPD adalah provinsi.
BAB VI
PENYUSUNAN DAFTAR PEMILIH
Bagian Kesatu
Data Kependudukan
Pasal 32
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan data
kependudukan.
(2) Data kependudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus sudah tersedia dan diserahkan kepada KPU paling
lambat 12 (dua belas) bulan sebelum hari/tanggal
pemungutan suara.
Bagian Kedua . . .
- 19 -
Bagian Kedua
Daftar Pemilih
Pasal 33
(1) KPU kabupaten/kota menggunakan data kependudukan
sebagai bahan penyusunan daftar pemilih.
(2) Daftar pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sekurang-kurangnya memuat nomor induk
kependudukan, nama, tanggal lahir, jenis kelamin, dan
alamat Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak
memilih.
(3) Dalam penyusunan daftar pemilih sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), KPU kabupaten/kota dibantu oleh PPS.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan
daftar pemilih diatur dalam peraturan KPU.
Bagian Ketiga
Pemutakhiran Data Pemilih
Pasal 34
(1) KPU kabupaten/kota melakukan pemutakhiran data
pemilih berdasarkan data kependudukan dari Pemerintah
dan pemerintah daerah.
(2) Pemutakhiran data pemilih diselesaikan paling lama
3 (tiga) bulan setelah diterimanya data kependudukan.
(3) Dalam pemutakhiran data pemilih, KPU kabupaten/kota
dibantu oleh PPS dan PPK.
(4) Hasil pemutakhiran data pemilih digunakan sebagai
bahan penyusunan daftar pemilih sementara.
Pasal 35
(1) Dalam pemutakhiran data pemilih sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3), PPS dibantu oleh
petugas pemutakhiran data pemilih yang terdiri atas
perangkat desa/kelurahan, rukun warga, rukun tetangga
atau sebutan lain, dan warga masyarakat.
(2) Petugas . . .
- 20 -
(2) Petugas pemutakhiran data pemilih sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh
PPS.
Bagian Keempat
Penyusunan Daftar Pemilih Sementara
Pasal 36
(1) Daftar pemilih sementara disusun oleh PPS berbasis
rukun tetangga atau sebutan lain.
(2) Daftar pemilih sementara disusun paling lambat 1 (satu)
bulan sejak berakhirnya pemutakhiran data pemilih.
(3) Daftar pemilih sementara diumumkan selama 7 (tujuh)
hari oleh PPS untuk mendapatkan masukan dan
tanggapan dari masyarakat.
(4) Daftar pemilih sementara sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), salinannya harus diberikan oleh PPS kepada
yang mewakili Peserta Pemilu di tingkat desa/kelurahan
sebagai bahan untuk mendapatkan masukan dan
tanggapan.
(5) Masukan dan tanggapan dari masyarakat dan Peserta
Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)
diterima PPS paling lama 14 (empat belas) hari sejak hari
pertama daftar pemilih sementara diumumkan.
(6) PPS wajib memperbaiki daftar pemilih sementara
berdasarkan masukan dan tanggapan dari masyarakat
dan Peserta Pemilu.
Pasal 37
(1) Daftar pemilih sementara hasil perbaikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6) diumumkan kembali
oleh PPS selama 3 (tiga) hari untuk mendapatkan
masukan dan tanggapan dari masyarakat dan Peserta
Pemilu.
(2) PPS . . .
- 21 -
(2) PPS wajib melakukan perbaikan terhadap daftar pemilih
sementara hasil perbaikan berdasarkan masukan dan
tanggapan dari masyarakat dan Peserta Pemilu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 (tiga)
hari setelah berakhirnya pengumuman.
(3) Daftar pemilih sementara hasil perbaikan akhir
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh
PPS kepada KPU kabupaten/kota melalui PPK untuk
menyusun daftar pemilih tetap.
(4) PPS harus memberikan salinan daftar pemilih sementara
hasil perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
kepada yang mewakili Peserta Pemilu di tingkat
desa/kelurahan.
Bagian Kelima
Penyusunan Daftar Pemilih Tetap
Pasal 38
(1) KPU kabupaten/kota menetapkan daftar pemilih tetap
berdasarkan daftar pemilih sementara hasil perbaikan
dari PPS.
(2) Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disusun dengan basis TPS.
(3) Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan paling lama 20 (dua puluh) hari sejak
diterimanya daftar pemilih sementara hasil perbaikan dari
PPS.
(4) Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan oleh KPU kabupaten/kota kepada KPU, KPU
provinsi, PPK, dan PPS.
(5) KPU kabupaten/kota harus memberikan salinan daftar
pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepada Partai Politik Peserta Pemilu di tingkat
kabupaten/kota.
Pasal 39
(1) PPS mengumumkan daftar pemilih tetap sejak diterima
dari KPU kabupaten/kota sampai hari/tanggal
pemungutan suara.
(2) Daftar . . .
- 22 -
(2) Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
digunakan KPPS dalam melaksanakan pemungutan
suara.
Pasal 40
(1) Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 ayat (2) dapat dilengkapi dengan daftar pemilih
tambahan paling lambat 3 (tiga) hari sebelum
hari/tanggal pemungutan suara.
(2) Daftar pemilih tambahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri atas data pemilih yang telah terdaftar
dalam daftar pemilih tetap di suatu TPS, tetapi karena
keadaan tertentu tidak dapat menggunakan haknya
untuk memilih di TPS tempat yang bersangkutan
terdaftar.
(3) Untuk dapat dimasukkan dalam daftar pemilih
tambahan, seseorang harus menunjukkan bukti identitas
diri dan bukti yang bersangkutan telah terdaftar sebagai
pemilih dalam daftar pemilih tetap di TPS asal.
Bagian Keenam
Penyusunan Daftar Pemilih bagi Pemilih di Luar Negeri
Pasal 41
(1) Setiap Kepala Perwakilan Republik Indonesia
menyediakan data penduduk Warga Negara Indonesia
dan data penduduk potensial pemilih Pemilu di negara
akreditasinya.
(2) PPLN menggunakan data penduduk potensial pemilih
Pemilu untuk menyusun daftar pemilih di luar negeri.
Pasal 42
(1) PPLN melakukan pemutakhiran data pemilih paling lama
3 (tiga) bulan setelah diterimanya data penduduk Warga
Negara Indonesia dan data penduduk potensial pemilih
Pemilu.
(2) Pemutakhiran data pemilih oleh PPLN dibantu petugas
pemutakhiran data pemilih.
(3) Petugas . . .
- 23 -
(3) Petugas pemutakhiran data pemilih sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) terdiri atas pegawai Perwakilan
Republik Indonesia dan warga masyarakat Indonesia di
negara yang bersangkutan.
(4) Petugas pemutakhiran data pemilih diangkat dan
diberhentikan oleh PPLN.
Pasal 43
(1) PPLN menyusun daftar pemilih sementara.
(2) Penyusunan daftar pemilih sementara dilaksanakan
paling lama 1 (satu) bulan sejak berakhirnya
pemutakhiran data pemilih.
(3) Daftar pemilih sementara diumumkan selama 7 (tujuh)
hari oleh PPLN untuk mendapatkan masukan dan
tanggapan dari masyarakat.
(4) Masukan dan tanggapan dari masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diterima PPLN paling lama
7 (tujuh) hari sejak diumumkan.
(5) PPLN wajib memperbaiki daftar pemilih sementara
berdasarkan masukan dan tanggapan dari masyarakat.
(6) Daftar pemilih sementara hasil perbaikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) digunakan PPLN untuk bahan
penyusunan daftar pemilih tetap.
Pasal 44
(1) PPLN menetapkan daftar pemilih sementara hasil
perbaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (6)
menjadi daftar pemilih tetap.
(2) PPLN mengirim daftar pemilih tetap sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada KPU dengan tembusan
kepada Kepala Perwakilan Republik Indonesia.
Pasal 45
(1) PPLN menyusun daftar pemilih tetap dengan basis TPSLN
berdasarkan daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 44 ayat (1).
(2) Daftar . . .
- 24 -
(2) Daftar pemilih tetap dengan basis TPSLN digunakan
KPPSLN dalam melaksanakan pemungutan suara.
Pasal 46
(1) Daftar pemilih tetap dengan basis TPSLN sebagaimana
dimaksud Pasal 45 ayat (2) dapat dilengkapi dengan
daftar pemilih tambahan sampai hari/tanggal
pemungutan suara.
(2) Daftar pemilih tambahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri atas data pemilih yang telah terdaftar
dalam daftar pemilih tetap di suatu TPSLN, tetapi karena
keadaan tertentu tidak dapat menggunakan haknya
untuk memilih di TPSLN tempat yang bersangkutan
terdaftar.
Bagian Ketujuh
Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap
Pasal 47
(1) KPU kabupaten/kota melakukan rekapitulasi daftar
pemilih tetap di kabupaten/kota.
(2) KPU provinsi melakukan rekapitulasi daftar pemilih tetap
di provinsi.
(3) KPU melakukan rekapitulasi daftar pemilih tetap secara
nasional.
Bagian Kedelapan
Pengawasan dan Penyelesaian Perselisihan
dalam Pemutakhiran Data dan Penetapan Daftar Pemilih
Pasal 48
(1) Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota,
Panwaslu kecamatan dan Pengawas Pemilu Lapangan
melakukan pengawasan atas pelaksanaan pemutakhiran
data pemilih, penyusunan dan pengumuman daftar
pemilih sementara, perbaikan dan pengumuman daftar
pemilih sementara hasil perbaikan, penetapan dan
pengumuman daftar pemilih tetap, daftar pemilih
tambahan, dan rekapitulasi daftar pemilih tetap yang
dilaksanakan oleh KPU, KPU provinsi, KPU
kabupaten/kota, PPK dan PPS.
(2) Pengawas . . .
- 25 -
(2) Pengawas Pemilu Luar Negeri melakukan pengawasan
atas pelaksanaan pemutakhiran data pemilih,
penyusunan dan pengumuman daftar pemilih sementara,
perbaikan dan pengumuman daftar pemilih sementara
hasil perbaikan, penetapan dan pengumuman daftar
pemilih tetap, daftar pemilih tambahan, dan rekapitulasi
daftar pemilih tetap luar negeri yang dilaksanakan oleh
PPLN.
Pasal 49
(1) Dalam hal pengawasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 48 menemukan unsur kesengajaan atau kelalaian
anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK,
PPS, dan PPLN yang merugikan Warga Negara Indonesia
yang memiliki hak pilih, maka Bawaslu, Panwaslu
provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu
kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas
Pemilu Luar Negeri menyampaikan temuan kepada KPU,
KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota, PPK, PPS, dan
PPLN.
(2) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota, PPK, PPS,
dan PPLN wajib menindaklanjuti temuan Bawaslu,
Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu
kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas
Pemilu Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
BAB VII
PENCALONAN ANGGOTA DPR, DPD, DPRD PROVINSI
DAN DPRD KABUPATEN/KOTA
Bagian Kesatu
Persyaratan Bakal Calon Anggota
DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota
Pasal 50
(1) Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota harus memenuhi persyaratan:
a. Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua
puluh satu) tahun atau lebih;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
d. cakap . . .
- 26 -
d. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa
Indonesia;
e. berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah
Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK),
atau bentuk lain yang sederajat;
f. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945;
g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau
lebih;
h. sehat jasmani dan rohani;
i. terdaftar sebagai pemilih;
j. bersedia bekerja penuh waktu;
k. mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil,
anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada
badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik
daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber
dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat
pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali;
l. bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan
publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat
akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan
penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan
keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat
menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas,
wewenang, dan hak sebagai anggota DPR, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sesuai peraturan
perundang-undangan;
m. bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai
pejabat-negara lainnya, pengurus pada badan usaha
milik negara, dan badan usaha milik daerah, serta
badan lain yang anggarannya bersumber dari
keuangan negara;
n. menjadi anggota Partai Politik Peserta Pemilu;
o. dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan; dan
p. dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan.
(2) Kelengkapan . . .
- 27 -
(2) Kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPR,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan:
a. kartu tanda Penduduk Warga Negara Indonesia;
b. bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah, STTB,
syahadah, sertifikat, atau surat keterangan lain yang
dilegalisasi oleh satuan pendidikan atau program
pendidikan menengah;
c. surat keterangan catatan kepolisian tentang tidak
tersangkut perkara pidana dari Kepolisian Negara
Republik Indonesia setempat;
d. surat keterangan berbadan sehat jasmani dan rohani;
e. surat tanda bukti telah terdaftar sebagai pemilih;
f. surat pernyataan tentang kesediaan untuk bekerja
penuh waktu yang ditandatangani di atas kertas
bermeterai cukup;
g. surat pernyataan kesediaan untuk tidak berpraktik
sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris,
pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak
melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang
berhubungan dengan keuangan negara serta
pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik
kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak
sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota yang ditandatangani di atas kertas
bermeterai cukup;
h. surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik
kembali sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara
Nasional Indonesia, atau anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha milik
negara dan/atau badan usaha milik daerah, pengurus
pada badan lain yang anggarannya bersumber dari
keuangan negara;
i. kartu tanda anggota Partai Politik Peserta Pemilu;
j. surat pernyataan tentang kesediaan hanya dicalonkan
oleh 1 (satu) partai politik untuk 1 (satu) lembaga
perwakilan yang ditandatangani di atas kertas
bermeterai cukup;
k. surat pernyataan tentang kesediaan hanya dicalonkan
pada 1 (satu) daerah pemilihan yang ditandatangani di
atas kertas bermeterai cukup.
Bagian Kedua . . .
- 28 -
Bagian Kedua
Tata Cara Pengajuan Bakal Calon Anggota
DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota
Pasal 51
(1) Partai Politik Peserta Pemilu melakukan seleksi bakal
calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota.
(2) Seleksi bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan
mekanisme internal partai politik.
Pasal 52
(1) Bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51
disusun dalam daftar bakal calon oleh partai politik
masing-masing.
(2) Daftar bakal calon anggota DPR ditetapkan oleh pengurus
Partai Politik Peserta Pemilu tingkat pusat.
(3) Daftar bakal calon anggota DPRD provinsi ditetapkan oleh
pengurus Partai Politik Peserta Pemilu tingkat provinsi.
(4) Daftar bakal calon anggota DPRD kabupaten/kota
ditetapkan oleh pengurus Partai Politik Peserta Pemilu
tingkat kabupaten/kota.
Pasal 53
Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52
memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus)
keterwakilan perempuan.
Pasal 54
Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52
memuat paling banyak 120% (seratus dua puluh perseratus)
dari jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan.
Pasal 55
(1) Nama-nama calon dalam daftar bakal calon sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 54 disusun berdasarkan nomor
urut.
(2) Di dalam . . .
- 29 -
(2) Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat
sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal
calon.
(3) Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disertai dengan pas foto diri terbaru.
Pasal 56
Daftar bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52
diajukan kepada:
a. KPU untuk daftar bakal calon anggota DPR yang
ditandatangani oleh ketua umum dan sekretaris jenderal
atau sebutan lain.
b. KPU provinsi untuk daftar bakal calon anggota DPRD
provinsi yang ditandatangani oleh ketua dan sekretaris
atau sebutan lain.
c. KPU kabupaten/kota untuk daftar bakal calon anggota
DPRD kabupaten/kota yang ditandatangani oleh ketua
dan sekretaris atau sebutan lain.
Bagian Ketiga
Verifikasi Kelengkapan Administrasi
Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota
Pasal 57
(1) KPU melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan
kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon
anggota DPR dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah
sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus)
keterwakilan perempuan.
(2) KPU provinsi melakukan verifikasi terhadap kelengkapan
dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal
calon anggota DPRD provinsi dan verifikasi terhadap
terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30% (tiga
puluh perseratus) keterwakilan perempuan.
(3) KPU . . .
- 30 -
(3) KPU kabupaten/kota melakukan verifikasi terhadap
kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan
administrasi bakal calon anggota DPRD kabupaten/kota
dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurangkurangnya
30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan
perempuan.
Pasal 58
(1) Dalam hal kelengkapan dokumen persyaratan
administrasi bakal calon sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 57 tidak terpenuhi, KPU, KPU provinsi, dan KPU
kabupaten/kota mengembalikan dokumen persyaratan
administrasi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota kepada Partai Politik Peserta
Pemilu.
(2) Dalam hal daftar bakal calon tidak memuat sekurangkurangnya
30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan
perempuan, KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota
memberikan kesempatan kepada partai politik untuk
memperbaiki daftar bakal calon tersebut.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai proses verifikasi bakal
calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota diatur dengan peraturan KPU.
Pasal 59
(1) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota meminta
kepada partai politik untuk mengajukan bakal calon baru
anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
sebagai pengganti bakal calon yang terbukti memalsukan
atau menggunakan dokumen palsu.
(2) Partai politik mengajukan nama bakal calon baru
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama
7 (tujuh) hari sejak surat permintaan dari KPU, KPU
provinsi, dan KPU kabupaten/kota diterima oleh partai
politik.
(3) Partai . . .
- 31 -
(3) Partai Politik Peserta Pemilu yang bersangkutan tidak
dapat mengajukan bakal calon pengganti apabila putusan
pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum tetap
membuktikan terjadinya pemalsuan atau penggunaan
dokumen palsu tersebut dikeluarkan setelah
ditetapkannya daftar calon tetap oleh KPU, KPU provinsi,
dan KPU kabupaten/kota.
(4) KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten kota melakukan
verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen
persyaratan administrasi bakal calon anggota DPR, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
Bagian Keempat
Pengawasan atas Verifikasi Kelengkapan Administrasi
Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota
Pasal 60
(1) Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota,
melakukan pengawasan atas pelaksanaan verifikasi
kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPR,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang
dilakukan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU
kabupaten/kota.
(2) Dalam hal pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) menemukan unsur kesengajaan atau kelalaian
anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota
sehingga merugikan bakal calon anggota DPR, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, maka Bawaslu,
Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota
menyampaikan temuan kepada KPU, KPU provinsi, dan
KPU kabupaten/kota.
(3) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota wajib
menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu provinsi,
dan Panwaslu kabupaten/kota sebagaimana dimaksud
pada ayat (2).
Bagian Kelima
Penyusunan Daftar Calon Sementara Anggota
DPR, DPRD Provinsi, dan DPR Kabupaten/Kota
Pasal 61
(1) Bakal calon yang lulus verifikasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 57 disusun dalam daftar calon sementara
oleh:
a. KPU untuk daftar calon sementara anggota DPR.
b. KPU . . .
- 32 -
b. KPU provinsi untuk daftar calon sementara anggota
DPRD provinsi.
c. KPU kabupaten/kota untuk daftar calon sementara
anggota DPRD kabupaten/kota.
(2) Daftar calon sementara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditandatangani oleh ketua dan anggota KPU, KPU
provinsi, dan KPU kabupaten/kota.
(3) Daftar calon sementara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disusun berdasarkan nomor urut dan dilengkapi
dengan pas foto diri terbaru.
(4) Daftar calon sementara anggota DPR, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diumumkan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU
kabupaten/kota sekurang-kurangnya pada 1 (satu) media
massa cetak harian dan media massa elektronik nasional
dan 1 (satu) media massa cetak harian dan media massa
elektronik daerah serta sarana pengumuman lainnya
selama 5 (lima) hari.
(5) Masukan dan tanggapan dari masyarakat disampaikan
kepada KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota
paling lama 10 (sepuluh) hari sejak daftar calon
sementara diumumkan.
(6) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota
mengumumkan persentase keterwakilan perempuan
dalam daftar calon sementara partai politik masingmasing
pada media massa cetak harian nasional dan
media massa elektronik nasional.
Pasal 62
(1) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota meminta
klarifikasi kepada partai politik atas masukan dan
tanggapan dari masyarakat.
(2) Pimpinan partai politik harus memberikan kesempatan
kepada calon yang bersangkutan untuk mengklarifikasi
masukan dan tanggapan dari masyarakat.
(3) Pimpinan partai politik menyampaikan hasil klarifikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) secara tertulis
kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.
(4) Dalam . . .
- 33 -
(4) Dalam hal hasil klarifikasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) menyatakan bahwa calon sementara tersebut
tidak memenuhi syarat, KPU, KPU provinsi, dan KPU
kabupaten/kota memberitahukan dan memberikan
kesempatan kepada partai politik untuk mengajukan
pengganti calon dan daftar calon sementara hasil
perbaikan.
(5) Pengajuan pengganti calon dan daftar calon sementara
hasil perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
paling lama 7 (tujuh) hari setelah surat pemberitahuan
dari KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota
diterima oleh partai politik.
(6) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota melakukan
verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen
persyaratan administrasi pengganti calon anggota DPR,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
(7) Dalam hal partai politik tidak mengajukan pengganti
calon dan daftar calon sementara hasil perbaikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), urutan nama
dalam daftar calon sementara diubah oleh KPU, KPU
provinsi, dan KPU kabupaten/kota sesuai dengan urutan
berikutnya.
Pasal 63
Dalam hal ditemukan dugaan telah terjadi pemalsuan
dokumen atau penggunaan dokumen palsu dalam persyaratan
administrasi bakal calon dan/atau calon anggota DPR, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, maka KPU, KPU provinsi,
dan KPU kabupaten/kota berkoordinasi dengan Kepolisian
Negara Republik Indonesia untuk dilakukan proses lebih lanjut
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 64
Dalam hal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap yang menyatakan tidak terbukti adanya
pemalsuan dokumen atau penggunaan dokumen palsu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dibacakan setelah
KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota menetapkan
daftar calon tetap anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota, putusan tersebut tidak memengaruhi daftar
calon tetap.
Bagian Keenam . . .
- 34 -
Bagian Keenam
Penetapan dan Pengumuman Daftar
Calon Tetap Anggota DPR dan DPRD
Pasal 65
(1) KPU menetapkan daftar calon tetap anggota DPR.
(2) KPU provinsi menetapkan daftar calon tetap anggota
DPRD provinsi.
(3) KPU kabupaten/kota menetapkan daftar calon tetap
anggota DPRD kabupaten/kota.
(4) Daftar calon tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) disusun berdasarkan nomor urut
dan dilengkapi dengan pas foto diri terbaru.
Pasal 66
(1) Daftar calon tetap anggota DPR, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 65 diumumkan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU
kabupaten/kota.
(2) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota
mengumumkan persentase keterwakilan perempuan
dalam daftar calon tetap partai politik masing-masing
pada media massa cetak harian nasional dan media
massa elektronik nasional.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman teknis
pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota ditetapkan oleh KPU.
Bagian Ketujuh
Tata Cara Pendaftaran Bakal Calon Anggota DPD
Pasal 67
(1) Perseorangan yang memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 dan Pasal 13 dapat
mendaftarkan diri sebagai bakal calon anggota DPD
kepada KPU melalui KPU provinsi.
(2) Kelengkapan . .
.
- 35 -
(2) Kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPD
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan:
a. kartu tanda penduduk Warga Negara Indonesia;
b. bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah, STTB,
syahadah, sertifikat, atau surat keterangan lain yang
dilegalisasi oleh satuan pendidikan atau program
pendidikan menengah;
c. surat keterangan catatan kepolisian tentang tidak
tersangkut perkara pidana dari Kepolisian Negara
Republik Indonesia setempat;
d. surat keterangan berbadan sehat jasmani dan rohani;
e. surat tanda bukti telah terdaftar sebagai pemilih;
f. surat pernyataan tentang kesediaan untuk bekerja
penuh waktu yang ditandatangani di atas kertas
bermeterai cukup;
g. surat pernyataan kesediaan untuk tidak berpraktik
sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris,
dan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang
berhubungan dengan keuangan negara serta
pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik
kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak
sebagai anggota DPD yang ditandatangani di atas
kertas bermeterai cukup;
h. surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik
kembali sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara
Nasional Indonesia, atau anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha milik
negara dan/atau badan usaha milik daerah, pengurus
pada badan lain yang anggarannya bersumber dari
anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau
anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan
i. surat pernyataan tentang kesediaan hanya
mencalonkan untuk 1 (satu) lembaga perwakilan yang
ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup.
Bagian Kedelapan . . .
- 36 -
Bagian Kedelapan
Verifikasi Kelengkapan Administrasi
Bakal Calon Anggota DPD
Pasal 68
(1) KPU melakukan verifikasi kelengkapan dan kebenaran
dokumen persyaratan bakal calon anggota DPD.
(2) KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota membantu
pelaksanaan verifikasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
Pasal 69
(1) Persyaratan dukungan minimal pemilih sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dibuktikan dengan
daftar dukungan yang dibubuhi tanda tangan atau cap
jempol dan dilengkapi fotokopi kartu tanda Penduduk
setiap pendukung.
(2) Seorang pemilih tidak dibolehkan memberikan dukungan
kepada lebih dari 1 (satu) orang bakal calon anggota DPD.
(3) Dalam hal ditemukan bukti adanya data palsu atau data
yang sengaja digandakan oleh bakal calon anggota DPD
terkait dengan dokumen persyaratan dukungan minimal
pemilih, bakal calon anggota DPD dikenai pengurangan
jumlah dukungan minimal pemilih sebanyak 50 (lima
puluh) kali temuan bukti data palsu atau data yang
digandakan.
Bagian Kesembilan
Pengawasan atas Verifikasi Kelengkapan Administrasi Calon Anggota DPD
Pasal 70
(1) Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota
melakukan pengawasan atas pelaksanaan verifikasi
kelengkapan persyaratan administrasi bakal calon
anggota DPD yang dilakukan oleh KPU, KPU provinsi, dan
KPU kabupaten/kota.
(2) Dalam . . .
- 37 -
(2) Dalam hal pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) menemukan unsur kesengajaan atau kelalaian
anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota
sehingga merugikan bakal calon anggota DPD, maka
Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu
kabupaten/kota menyampaikan temuan kepada KPU,
KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.
(3) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota wajib
menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu provinsi,
dan Panwaslu kabupaten/kota sebagaimana dimaksud
pada ayat (2).
Bagian Kesepuluh
Penetapan Daftar Calon Sementara Anggota DPD
Pasal 71
(1) KPU menetapkan daftar calon sementara anggota DPD.
(2) Daftar calon sementara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditandatangani oleh ketua dan anggota KPU.
(3) Daftar calon sementara anggota DPD sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diumumkan oleh KPU sekurangkurangnya
pada 1 (satu) media massa cetak harian dan
media massa elektronik nasional dan 1 (satu) media
massa cetak harian dan media massa elektronik daerah
serta sarana pengumuman lainnya untuk mendapatkan
masukan dan tanggapan dari masyarakat.
(4) Masukan dan tanggapan dari masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada KPU paling
lama 10 (sepuluh) hari sejak daftar calon sementara
diumumkan.
Pasal 72
(1) Masukan dan tanggapan dari masyarakat untuk
perbaikan daftar calon sementara anggota DPD
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3)
disampaikan secara tertulis kepada KPU dengan disertai
bukti identitas diri.
(2) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meminta klarifikasi
kepada bakal calon anggota DPD atas masukan dan
tanggapan dari masyarakat.
Pasal 73 . . .
- 38 -
Pasal 73
Dalam hal ditemukan dugaan telah terjadi pemalsuan
dokumen atau penggunaan dokumen palsu dalam persyaratan
administrasi bakal calon dan/atau calon anggota DPD, maka
KPU dan KPU provinsi berkoordinasi dengan Kepolisian Negara
Republik Indonesia untuk dilakukan proses lebih lanjut sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 74
Dalam hal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap yang menyatakan tidak terbukti adanya
pemalsuan dokumen atau penggunaan dokumen palsu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 dibacakan setelah
KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota menetapkan
daftar calon tetap anggota DPD, putusan tersebut tidak
memengaruhi daftar calon tetap.
Bagian Kesebelas
Penetapan dan Pengumuman Daftar Calon Tetap Anggota DPD
Pasal 75
(1) Daftar calon tetap anggota DPD ditetapkan oleh KPU.
(2) Daftar calon tetap anggota DPD sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disusun berdasarkan abjad dan dilengkapi
dengan pas foto diri terbaru.
(3) Daftar calon tetap anggota DPD sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diumumkan oleh KPU.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman teknis
pencalonan anggota DPD ditetapkan oleh KPU.
BAB VIII
KAMPANYE
Bagian Kesatu
Kampanye Pemilu
Pasal 76
Kampanye Pemilu dilakukan dengan prinsip bertanggung
jawab dan merupakan bagian dari pendidikan politik
masyarakat.
Pasal 77 . . .
- 39 -
Pasal 77
(1) Kampanye Pemilu dilaksanakan oleh pelaksana
kampanye.
(2) Kampanye Pemilu diikuti oleh peserta kampanye.
(3) Kampanye Pemilu didukung oleh petugas kampanye.
Pasal 78
(1) Pelaksana kampanye Pemilu anggota DPR, DPRD
provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota terdiri atas
pengurus partai politik, calon anggota DPR, DPRD
provinsi, DPRD kabupaten/kota, juru kampanye, orangseorang,
dan organisasi yang ditunjuk oleh Peserta
Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota.
(2) Pelaksana kampanye Pemilu anggota DPD terdiri atas
calon anggota DPD, orang-seorang, dan organisasi yang
ditunjuk oleh Peserta Pemilu anggota DPD.
(3) Peserta kampanye terdiri atas anggota masyarakat.
(4) Petugas kampanye terdiri atas seluruh petugas yang
memfasilitasi pelaksanaan kampanye.
Pasal 79
(1) Pelaksana kampanye sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 78 harus didaftarkan pada KPU, KPU provinsi, dan
KPU kabupaten/kota.
(2) Pendaftaran pelaksana kampanye sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditembuskan kepada Bawaslu, Panwaslu
provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota.
Bagian Kedua
Materi Kampanye
Pasal 80
(1) Materi kampanye Partai Politik Peserta Pemilu yang
dilaksanakan oleh calon anggota DPR, anggota DPRD
provinsi, dan anggota DPRD kabupaten/kota meliputi
visi, misi, dan program partai politik.
(2) Materi . . .
- 40 -
(2) Materi kampanye Perseorangan Peserta Pemilu yang
dilaksanakan oleh calon anggota DPD meliputi visi, misi,
dan program yang bersangkutan.
Bagian Ketiga
Metode Kampanye
Pasal 81
Kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76
dapat dilakukan melalui:
a. pertemuan terbatas;
b. pertemuan tatap muka;
c. media massa cetak dan media massa elektronik;
d. penyebaran bahan kampanye kepada umum;
e. pemasangan alat peraga di tempat umum;
f. rapat umum; dan
g. kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye dan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 82
(1) Kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81
huruf a sampai dengan huruf e dilaksanakan sejak 3
(tiga) hari setelah calon Peserta Pemilu ditetapkan sebagai
Peserta Pemilu sampai dengan dimulainya masa tenang.
(2) Kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81
huruf f dilaksanakan selama 21 (dua puluh satu) hari dan
berakhir sampai dengan dimulainya masa tenang.
(3) Masa tenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) berlangsung selama 3 (tiga) hari sebelum
hari/tanggal pemungutan suara.
Pasal 83
(1) Ketentuan mengenai pedoman pelaksanaan kampanye
Pemilu secara nasional diatur dengan peraturan KPU.
(2) Waktu, tanggal, dan tempat pelaksanaan kampanye
Pemilu anggota DPR dan DPD ditetapkan dengan
keputusan KPU setelah KPU berkoordinasi dengan
Peserta Pemilu.
(3) Waktu . . .
- 41 -
(3) Waktu, tanggal, dan tempat pelaksanaan kampanye
Pemilu anggota DPRD provinsi ditetapkan dengan
keputusan KPU provinsi setelah KPU provinsi
berkoordinasi dengan Peserta Pemilu.
(4) Waktu, tanggal, dan tempat pelaksanaan kampanye
Pemilu anggota DPRD kabupaten/kota ditetapkan dengan
keputusan KPU kabupaten/kota setelah KPU
kabupaten/kota berkoordinasi dengan Peserta Pemilu.
Bagian Keempat
Larangan dalam Kampanye
Pasal 84
(1) Pelaksana, peserta, dan petugas kampanye dilarang:
a. mempersoalkan dasar negara Pancasila, Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, dan bentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
b. melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan,
calon dan/atau Peserta Pemilu yang lain;
d. menghasut dan mengadu domba perseorangan
ataupun masyarakat;
e. mengganggu ketertiban umum;
f. mengancam untuk melakukan kekerasan atau
menganjurkan penggunaan kekerasan kepada
seseorang, sekelompok anggota masyarakat, dan/atau
Peserta Pemilu yang lain;
g. merusak dan/atau menghilangkan alat peraga
kampanye Peserta Pemilu;
h. menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah,
dan tempat pendidikan;
i. membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau
atribut lain selain dari tanda gambar dan/atau atribut
Peserta Pemilu yang bersangkutan; dan
j. menjanjikan atau memberikan uang atau materi
lainnya kepada peserta kampanye.
(2) Pelaksana . . .
- 42 -
(2) Pelaksana kampanye dalam kegiatan kampanye dilarang
mengikutsertakan:
a. Ketua, Wakil Ketua, ketua muda, hakim agung pada
Mahkamah Agung, dan hakim pada semua badan
peradilan di bawah Mahkamah Agung, dan hakim
konstitusi pada Mahkamah Konstitusi;
b. Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Badan Pemeriksa
Keuangan;
c. Gubernur, Deputi Gubernur Senior, dan deputi
gubernur Bank Indonesia;
d. pejabat badan usaha milik negara/badan usaha milik
daerah;
e. pegawai negeri sipil;
f. anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian
Negara Republik Indonesia;
g. kepala desa;
h. perangkat desa;
i. anggota badan permusyaratan desa; dan
j. Warga Negara Indonesia yang tidak memiliki hak
memilih.
(3) Setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a sampai dengan huruf i dilarang ikut serta sebagai
pelaksana kampanye.
(4) Sebagai peserta kampanye, pegawai negeri sipil dilarang
menggunakan atribut partai atau atribut pegawai negeri
sipil.
(5) Sebagai peserta kampanye, pegawai negeri sipil dilarang
mengerahkan pegawai negeri sipil di lingkungan kerjanya
dan dilarang menggunakan fasilitas negara.
(6) Pelanggaran terhadap larangan ketentuan pada ayat (1)
huruf c, huruf f, huruf g, huruf i, dan huruf j, ayat (2),
dan ayat (5) merupakan tindak pidana Pemilu.
Pasal 85
(1) Kampanye Pemilu yang mengikutsertakan Presiden, Wakil
Presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati,
wakil bupati, walikota, dan wakil walikota harus
memenuhi ketentuan:
a. tidak . . .
- 43 -
a. tidak menggunakan fasilitas yang terkait dengan
jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat
negara sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan; dan
b. menjalani cuti di luar tanggungan negara.
(2) Cuti dan jadwal cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dilaksanakan dengan memperhatikan
keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara dan
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai keikutsertaan pejabat
negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan peraturan KPU.
Bagian Kelima
Sanksi atas Pelanggaran Larangan Kampanye
Pasal 86
Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup atas adanya
pelanggaran larangan kampanye sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 84 ayat (1) dan ayat (2) oleh pelaksana dan peserta
kampanye, maka KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota
menjatuhkan sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang ini.
Pasal 87
Dalam hal terbukti pelaksana kampanye menjanjikan atau
memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada
peserta kampanye secara langsung ataupun tidak langsung
agar:
a. tidak menggunakan hak pilihnya;
b. menggunakan hak pilihnya dengan memilih Peserta Pemilu
dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah;
c. memilih Partai Politik Peserta Pemilu tertentu;
d. memilih calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD
kabupaten/kota tertentu; atau
e. memilih calon anggota DPD tertentu,
dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Pasal 88 . . .
- 44 -
Pasal 88
Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 87 yang dikenai kepada pelaksana kampanye yang
berstatus sebagai calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD
kabupaten/kota, dan DPD digunakan sebagai dasar KPU, KPU
provinsi, dan KPU kabupaten/kota untuk mengambil tindakan
berupa:
a. pembatalan nama calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota dari daftar calon tetap; atau
b. pembatalan penetapan calon anggota DPR, DPD, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagai calon terpilih.
Bagian Keenam
Pemberitaan, Penyiaran, dan Iklan Kampanye
Paragraf 1
Umum
Pasal 89
(1) Pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye dapat
dilakukan melalui media massa cetak dan lembaga
penyiaran sesuai dengan peraturan perundangundangan.
(2) Pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam
rangka penyampaian pesan kampanye Pemilu oleh
Peserta Pemilu kepada masyarakat.
(3) Pesan kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat berupa tulisan, suara, gambar, tulisan dan gambar,
atau suara dan gambar, yang bersifat naratif, grafis,
karakter, interaktif atau tidak interaktif, serta yang dapat
diterima melalui perangkat penerima pesan.
(4) Media massa cetak dan lembaga penyiaran dalam
memberitakan, menyiarkan, dan mengiklankan
kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mematuhi larangan dalam kampanye sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 84.
(5) Media . . .
- 45 -
(5) Media massa cetak dan lembaga penyiaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) selama masa tenang dilarang
menyiarkan berita, iklan, rekam jejak Peserta Pemilu,
atau bentuk lainnya yang mengarah kepada kepentingan
kampanye yang menguntungkan atau merugikan Peserta
Pemilu.
Pasal 90
(1) Lembaga penyiaran publik Televisi Republik Indonesia
(TVRI), lembaga penyiaran publik Radio Republik
Indonesia (RRI), lembaga penyiaran publik lokal, lembaga
penyiaran swasta, dan lembaga penyiaran berlangganan
memberikan alokasi waktu yang sama dan
memperlakukan secara berimbang Peserta Pemilu untuk
menyampaikan materi kampanye.
(2) Lembaga penyiaran komunitas dapat menyiarkan proses
Pemilu sebagai bentuk layanan kepada masyarakat, tetapi
tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan kampanye
bagi Peserta Pemilu.
(3) Televisi Republik Indonesia dan Radio Republik Indonesia
menetapkan standar biaya dan persyaratan iklan
kampanye yang sama kepada Peserta Pemilu.
Paragraf 2
Pemberitaan Kampanye
Pasal 91
(1) Pemberitaan kampanye dilakukan oleh lembaga
penyiaran dengan cara siaran langsung atau siaran tunda
dan oleh media massa cetak.
(2) Media massa cetak dan lembaga penyiaran yang
menyediakan rubrik khusus untuk pemberitaan
kampanye harus berlaku adil dan berimbang kepada
seluruh Peserta Pemilu.
Paragraf 3
Penyiaran Kampanye
Pasal 92
(1) Penyiaran kampanye dilakukan oleh lembaga penyiaran
dalam bentuk siaran monolog, dialog yang melibatkan
suara dan/atau gambar pemirsa atau suara pendengar,
debat Peserta Pemilu, serta jajak pendapat.
(2) Pemilihan . . .
- 46 -
(2) Pemilihan narasumber, tema dan moderator, serta tata
cara penyelenggaraan siaran monolog, dialog, dan debat
diatur oleh lembaga penyiaran.
(3) Narasumber penyiaran monolog, dialog, dan debat harus
mematuhi larangan dalam kampanye sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 84.
(4) Siaran monolog, dialog, dan debat yang diselenggarakan
oleh lembaga penyiaran dapat melibatkan masyarakat
melalui telepon, layanan pesan singkat, surat
elektronik (e-mail), dan/atau faksimile.
Paragraf 4
Iklan Kampanye
Pasal 93
(1) Iklan kampanye Pemilu dapat dilakukan oleh Peserta
Pemilu pada media massa cetak dan/atau lembaga
penyiaran dalam bentuk iklan komersial dan/atau iklan
layanan masyarakat.
(2) Iklan kampanye Pemilu dilarang berisikan hal yang dapat
mengganggu kenyamanan pembaca, pendengar, dan/atau
pemirsa.
(3) Media massa cetak dan lembaga penyiaran wajib
memberikan kesempatan yang sama kepada Peserta
Pemilu dalam pemuatan dan penayangan iklan
kampanye.
(4) Pengaturan dan penjadwalan pemuatan dan penayangan
iklan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dilaksanakan oleh media massa cetak dan
lembaga penyiaran.
Pasal 94
(1) Media massa cetak dan lembaga penyiaran dilarang
menjual blocking segment dan/atau blocking time untuk
kampanye Pemilu.
(2) Media massa cetak dan lembaga penyiaran dilarang
menerima program sponsor dalam format atau segmen
apa pun yang dapat dikategorikan sebagai iklan
kampanye Pemilu.
(3) Media . . .
- 47 -
(3) Media massa cetak, lembaga penyiaran, dan Peserta
Pemilu dilarang menjual spot iklan yang tidak
dimanfaatkan oleh salah satu Peserta Pemilu kepada
Peserta Pemilu yang lain.
Pasal 95
(1) Batas maksimum pemasangan iklan kampanye Pemilu di
televisi untuk setiap Peserta Pemilu secara kumulatif
sebanyak 10 (sepuluh) spot berdurasi paling lama 30 (tiga
puluh) detik untuk setiap stasiun televisi setiap hari
selama masa kampanye.
(2) Batas maksimum pemasangan iklan kampanye Pemilu di
radio untuk setiap Peserta Pemilu secara kumulatif
sebanyak 10 (sepuluh) spot berdurasi paling lama
60 (enam puluh) detik untuk setiap stasiun radio setiap
hari selama masa kampanye.
(3) Batas maksimum pemasangan iklan kampanye Pemilu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah
untuk semua jenis iklan.
(4) Pengaturan dan penjadwalan pemasangan iklan
kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
untuk setiap Peserta Pemilu diatur sepenuhnya oleh
lembaga penyiaran dengan kewajiban memberikan
kesempatan yang sama kepada setiap Peserta Pemilu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3).
Pasal 96
(1) Media massa cetak dan lembaga penyiaran melakukan
iklan kampanye Pemilu dalam bentuk iklan kampanye
Pemilu komersial atau iklan kampanye Pemilu layanan
masyarakat dengan mematuhi kode etik periklanan dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Media massa cetak dan lembaga penyiaran wajib
menentukan standar tarif iklan kampanye Pemilu
komersial yang berlaku sama untuk setiap Peserta
Pemilu.
(3) Tarif iklan kampanye Pemilu layanan masyarakat harus
lebih rendah daripada tarif iklan kampanye Pemilu
komersial.
(4) Media . . .
- 48 -
(4) Media massa cetak dan lembaga penyiaran wajib
menyiarkan iklan kampanye Pemilu layanan masyarakat
non-partisan paling sedikit satu kali dalam sehari dengan
durasi 60 (enam puluh) detik.
(5) Iklan kampanye Pemilu layanan masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dapat diproduksi sendiri oleh
media massa cetak dan lembaga penyiaran atau dibuat
oleh pihak lain.
(6) Penetapan dan penyiaran iklan kampanye Pemilu layanan
masyarakat yang diproduksi oleh pihak lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) dilakukan oleh media massa
cetak dan lembaga penyiaran.
(7) Jumlah waktu tayang iklan kampanye Pemilu layanan
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak
termasuk jumlah kumulatif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 95 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
Pasal 97
Media massa cetak menyediakan halaman dan waktu yang adil
dan seimbang untuk pemuatan berita dan wawancara serta
untuk pemasangan iklan kampanye bagi Peserta Pemilu.
Pasal 98
(1) Komisi Penyiaran Indonesia atau Dewan Pers melakukan
pengawasan atas pemberitaan, penyiaran dan iklan
kampanye Pemilu yang dilakukan oleh lembaga penyiaran
atau media massa cetak.
(2) Dalam hal terdapat bukti pelanggaran atas ketentuan
dalam Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95, Komisi Penyiaran
Indonesia atau Dewan Pers menjatuhkan sanksi
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
(3) Penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diberitahukan kepada KPU dan KPU provinsi.
(4) Dalam hal Komisi Penyiaran Indonesia atau Dewan Pers
tidak menjatuhkan sanksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak
ditemukan bukti pelanggaran kampanye, KPU, KPU
provinsi, dan KPU kabupaten/kota menjatuhkan sanksi
kepada pelaksana kampanye.
Pasal 99 . . .
- 49 -
Pasal 99
(1) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2)
dapat berupa:
a. teguran tertulis;
b. penghentian sementara mata acara yang bermasalah;
c. pengurangan durasi dan waktu pemberitaan,
penyiaran, dan iklan kampanye Pemilu;
d. denda;
e. pembekuan kegiatan pemberitaan, penyiaran, dan
iklan kampanye Pemilu untuk waktu tertentu; atau
f. pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau
pencabutan izin penerbitan media massa cetak.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan pemberian
sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
oleh Komisi Penyiaran Indonesia atau Dewan Pers
bersama KPU.
Pasal 100
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberitaan, penyiaran, iklan
kampanye, dan pemberian sanksi diatur dengan peraturan
KPU.
Bagian Ketujuh
Pemasangan Alat Peraga Kampanye
Pasal 101
(1) KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, PPS, dan
PPLN berkoordinasi dengan Pemerintah, pemerintah
provinsi, pemerintah kabupaten/kota, kecamatan,
desa/kelurahan, dan kantor perwakilan Republik
Indonesia untuk menetapkan lokasi pemasangan alat
peraga untuk keperluan kampanye Pemilu.
(2) Pemasangan alat peraga kampanye Pemilu oleh pelaksana
kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dengan mempertimbangkan etika, estetika,
kebersihan, dan keindahan kota atau kawasan setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Pemasangan . . .
- 50 -
(3) Pemasangan alat peraga kampanye Pemilu pada tempat
yang menjadi milik perseorangan atau badan swasta
harus dengan izin pemilik tempat tersebut.
(4) Alat peraga kampanye Pemilu harus sudah dibersihkan
oleh Peserta Pemilu paling lambat 1 (satu) hari sebelum
hari/tanggal pemungutan suara.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasangan dan
pembersihan alat peraga kampanye diatur dalam
peraturan KPU.
Bagian Kedelapan
Peranan Pemerintah, Tentara Nasional Indonesia, dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Kampanye
Pasal 102
(1) Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah
kabupaten/kota, kecamatan, dan desa/kelurahan
memberikan kesempatan yang sama kepada pelaksana
kampanye dalam penggunaan fasilitas umum untuk
penyampaian materi kampanye.
(2) Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah
kabupaten/kota, kecamatan, desa/kelurahan, Tentara
Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia dilarang melakukan tindakan yang
menguntungkan atau merugikan salah satu pelaksana
kampanye.
Bagian Kesembilan
Pengawasan atas Pelaksanaan Kampanye Pemilu
Pasal 103
Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota,
Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan
Pengawas Pemilu Luar Negeri melakukan pengawasan atas
pelaksanaan kampanye Pemilu.
Pasal 104
(1) Pengawas Pemilu Lapangan melakukan pengawasan atas
pelaksanaan kampanye di tingkat desa/kelurahan.
(2) Pengawas . . .
- 51 -
(2) Pengawas Pemilu Lapangan menerima laporan dugaan
adanya pelanggaran pelaksanaan kampanye di tingkat
desa/kelurahan yang dilakukan oleh PPS, pelaksana
kampanye, peserta kampanye, dan petugas kampanye.
Pasal 105
(1) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup bahwa
PPS dengan sengaja melakukan atau lalai dalam
pelaksanaan kampanye yang mengakibatkan
terganggunya pelaksanaan kampanye Pemilu di tingkat
desa/kelurahan, Pengawas Pemilu Lapangan
menyampaikan laporan kepada Panwaslu kecamatan.
(2) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup bahwa
pelaksana kampanye, peserta kampanye, atau petugas
kampanye dengan sengaja melakukan atau lalai dalam
pelaksanaan kampanye yang mengakibatkan
terganggunya pelaksanaan kampanye Pemilu di tingkat
desa/kelurahan, Pengawas Pemilu Lapangan
menyampaikan laporan kepada PPS.
Pasal 106
(1) PPS wajib menindaklanjuti temuan dan laporan tentang
dugaan kesengajaan atau kelalaian dalam pelaksanaan
kampanye di tingkat desa/kelurahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 105 ayat (2) dengan melakukan:
a. penghentian pelaksanaan kampanye Peserta Pemilu
yang bersangkutan yang terjadwal pada hari itu;
b. pelaporan kepada PPK dalam hal ditemukan bukti
permulaan yang cukup tentang adanya tindak pidana
Pemilu terkait dengan pelaksanaan kampanye;
c. pelarangan kepada pelaksana kampanye untuk
melaksanakan kampanye berikutnya; dan
d. pelarangan kepada peserta kampanye untuk mengikuti
kampanye berikutnya.
(2) PPK menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dengan melakukan tindakan hukum
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Pasal 107 . . .
- 52 -
Pasal 107
Dalam hal ditemukan dugaan bahwa pelaksana kampanye,
peserta kampanye, dan petugas kampanye dengan sengaja
atau lalai yang mengakibatkan terganggunya pelaksanaan
kampanye Pemilu di tingkat desa/kelurahan dikenai tindakan
hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Pasal 108
(1) Panwaslu kecamatan wajib menindaklanjuti laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (1) dengan
melaporkan kepada PPK.
(2) PPK wajib menindaklanjuti laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dengan meneruskan kepada KPU
kabupaten/kota.
(3) KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan memberikan
sanksi administratif kepada PPS.
Pasal 109
(1) Panwaslu kecamatan melakukan pengawasan atas
pelaksanaan kampanye di tingkat kecamatan.
(2) Panwaslu kecamatan menerima laporan dugaan
pelanggaran pelaksanaan kampanye di tingkat kecamatan
yang dilakukan oleh PPK, pelaksana kampanye, peserta
kampanye, dan petugas kampanye.
Pasal 110
(1) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup bahwa
PPK melakukan kesengajaan atau kelalaian dalam
pelaksanaan kampanye yang mengakibatkan
terganggunya pelaksanaan kampanye Pemilu di tingkat
kecamatan, Panwaslu kecamatan menyampaikan laporan
kepada Panwaslu kabupaten/kota.
(2) Dalam . . .
- 53 -
(2) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup bahwa
pelaksana kampanye, peserta kampanye atau petugas
kampanye melakukan kesengajaan atau kelalaian dalam
pelaksanaan kampanye yang mengakibatkan
terganggunya pelaksanaan kampanye Pemilu di tingkat
kecamatan, Panwaslu kecamatan menyampaikan laporan
kepada Panwaslu kabupaten/kota dan menyampaikan
temuan kepada PPK.
Pasal 111
(1) PPK wajib menindaklanjuti temuan dan laporan tentang
dugaan kesengajaan atau kelalaian dalam pelaksanaan
kampanye di tingkat kecamatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 110 ayat (2) dengan melakukan:
a. penghentian pelaksanaan kampanye Peserta Pemilu
yang bersangkutan yang terjadwal pada hari itu;
b. pelaporan kepada KPU kabupaten/kota dalam hal
ditemukan bukti permulaan yang cukup adanya
tindak pidana Pemilu terkait dengan pelaksanaan
kampanye;
c. pelarangan kepada pelaksana kampanye untuk
melaksanakan kampanye berikutnya; dan/atau
d. pelarangan kepada peserta kampanye untuk mengikuti
kampanye berikutnya.
(2) KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dengan
melakukan tindakan hukum sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini.
Pasal 112
(1) Panwaslu kabupaten/kota wajib menindaklanjuti laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) dengan
melaporkan kepada KPU kabupaten/kota.
(2) KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan memberikan
sanksi administratif kepada PPK.
Pasal 113 . . .
- 54 -
Pasal 113
(1) Panwaslu kabupaten/kota melakukan pengawasan
pelaksanaan kampanye di tingkat kabupaten/kota,
terhadap:
a. kemungkinan adanya kesengajaan atau kelalaian
anggota KPU kabupaten/kota, sekretaris dan pegawai
sekretariat KPU kabupaten/kota melakukan tindak
pidana Pemilu atau pelanggaran administratif yang
mengakibatkan terganggunya kampanye yang sedang
berlangsung; atau
b. kemungkinan adanya kesengajaan atau kelalaian
pelaksana kampanye, peserta kampanye dan petugas
kampanye melakukan tindak pidana Pemilu atau
pelanggaran administratif yang mengakibatkan
terganggunya kampanye yang sedang berlangsung.
(2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Panwaslu kabupaten/kota:
a. menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap
ketentuan pelaksanaan kampanye Pemilu;
b. menyelesaikan temuan dan laporan pelanggaran
kampanye Pemilu yang tidak mengandung unsur
pidana;
c. menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU
kabupaten/kota tentang pelanggaran kampanye
Pemilu untuk ditindaklanjuti;
d. meneruskan temuan dan laporan tentang pelanggaran
tindak pidana Pemilu kepada Kepolisian Negara
Republik Indonesia;
e. menyampaikan laporan dugaan adanya tindakan yang
mengakibatkan terganggunya pelaksanaan kampanye
Pemilu oleh anggota KPU kabupaten/kota, sekretaris
dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota kepada
Bawaslu; dan/atau
f. mengawasi pelaksanaan rekomendasi Bawaslu tentang
pengenaan sanksi kepada anggota KPU
kabupaten/kota, sekretaris dan pegawai sekretariat
KPU kabupaten/kota yang terbukti melakukan
tindakan yang mengakibatkan terganggunya
kampanye yang sedang berlangsung.
Pasal 114 . . .
- 55 -
Pasal 114
(1) Panwaslu kabupaten/kota menyelesaikan laporan dugaan
pelanggaran administratif terhadap ketentuan
pelaksanaan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 113 ayat (2) huruf a, pada hari yang sama
dengan diterimanya laporan.
(2) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup adanya
pelanggaran administratif oleh pelaksana dan peserta
kampanye di tingkat kabupaten/kota, Panwaslu
kabupaten/kota menyampaikan temuan dan laporan
tersebut kepada KPU kabupaten/kota.
(3) KPU kabupaten/kota menetapkan penyelesaian laporan
dan temuan yang mengandung bukti permulaan yang
cukup adanya pelanggaran administratif oleh pelaksana
dan peserta kampanye pada hari diterimanya laporan.
(4) Dalam hal Panwaslu kabupaten/kota menerima laporan
dugaan pelanggaran administratif terhadap ketentuan
pelaksanaan kampanye Pemilu oleh anggota KPU
kabupaten/kota, sekretaris dan pegawai sekretariat KPU
kabupaten/kota, Panwaslu kabupaten/kota meneruskan
laporan tersebut kepada Bawaslu.
Pasal 115
(1) KPU bersama Bawaslu dapat menetapkan sanksi
tambahan terhadap pelanggaran administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (3) selain
yang diatur dalam Undang-Undang ini.
(2) Sanksi terhadap pelanggaran administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 114 ayat (4) selain yang diatur
dalam Undang-Undang ini, ditetapkan dalam kode etik
yang disusun secara bersama oleh KPU dan Bawaslu
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 116
Dalam hal Panwaslu kabupaten/kota menerima laporan
dugaan adanya tindak pidana dalam pelaksanaan kampanye
Pemilu oleh anggota KPU kabupaten/kota, sekretaris dan
pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota, pelaksana dan
peserta kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113,
Panwaslu kabupaten/kota melakukan:
a. pelaporan . . .
- 56 -
a. pelaporan tentang dugaan adanya tindak pidana Pemilu
dimaksud kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia;
atau
b. pelaporan kepada Bawaslu sebagai dasar untuk
mengeluarkan rekomendasi Bawaslu tentang sanksi.
Pasal 117
Panwaslu kabupaten/kota melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi Bawaslu tentang
pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116.
Pasal 118
(1) Panwaslu provinsi melakukan pengawasan pelaksanaan
kampanye di tingkat provinsi, terhadap:
a. kemungkinan adanya kesengajaan atau kelalaian
anggota KPU provinsi, sekretaris dan pegawai
sekretariat KPU provinsi melakukan tindak pidana
Pemilu atau pelanggaran administratif yang
mengakibatkan terganggunya kampanye yang sedang
berlangsung; atau
b. kemungkinan adanya kesengajaan atau kelalaian
pelaksana kampanye, peserta kampanye dan petugas
kampanye melakukan tindak pidana Pemilu atau
pelanggaran administratif yang mengakibatkan
terganggunya kampanye yang sedang berlangsung.
(2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Panwaslu provinsi:
a. menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap
ketentuan pelaksanaan kampanye Pemilu;
b. menyelesaikan temuan dan laporan pelanggaran
kampanye Pemilu yang tidak mengandung unsur
pidana;
c. menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU
provinsi tentang pelanggaran kampanye Pemilu untuk
ditindaklanjuti;
d. meneruskan temuan dan laporan tentang pelanggaran
tindak pidana Pemilu kepada Kepolisian Negara
Republik Indonesia;
e. menyampaikan . . .
- 57 -
e. menyampaikan laporan kepada Bawaslu sebagai dasar
untuk mengeluarkan rekomendasi Bawaslu yang
berkaitan dengan dugaan adanya tindak pidana
Pemilu atau pelanggaran administratif yang
mengakibatkan terganggunya pelaksanaan kampanye
Pemilu oleh anggota KPU provinsi, sekretaris dan
pegawai sekretariat KPU provinsi; dan/atau
f. mengawasi pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi
Bawaslu tentang pengenaan sanksi kepada anggota
KPU provinsi, sekretaris dan pegawai sekretariat KPU
provinsi yang terbukti melakukan tindak pidana
Pemilu atau administratif yang mengakibatkan
terganggunya kampanye yang sedang berlangsung.
Pasal 119
(1) Panwaslu provinsi menyelesaikan laporan dugaan
pelanggaran administratif terhadap ketentuan
pelaksanaan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 118 ayat (2) huruf a pada hari yang sama
dengan diterimanya laporan.
(2) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup adanya
pelanggaran administratif oleh pelaksana dan peserta
kampanye di tingkat provinsi, Panwaslu provinsi
menyampaikan temuan dan laporan tersebut kepada KPU
provinsi.
(3) KPU provinsi menetapkan penyelesaian laporan dan
temuan yang mengandung bukti permulaan yang cukup
adanya pelanggaran administratif oleh pelaksana dan
peserta kampanye pada hari diterimanya laporan.
(4) Dalam hal Panwaslu provinsi menerima laporan dugaan
pelanggaran administratif terhadap ketentuan
pelaksanaan kampanye Pemilu oleh anggota KPU
provinsi, sekretaris dan pegawai sekretariat KPU provinsi,
Panwaslu provinsi meneruskan laporan tersebut kepada
Bawaslu.
Pasal 120
(1) KPU bersama Bawaslu dapat menetapkan sanksi
tambahan terhadap pelanggaran administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (1) selain
yang diatur dalam Undang-Undang ini.
(2) Sanksi . . .
- 58 -
(2) Sanksi terhadap pelanggaran administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 119 ayat (4) selain yang diatur
dalam Undang-Undang ini ditetapkan dalam kode etik
yang disusun secara bersama oleh KPU dan Bawaslu
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 121
Dalam hal Panwaslu provinsi menerima laporan dugaan
adanya tindak pidana dalam pelaksanaan kampanye Pemilu
oleh anggota KPU provinsi, sekretaris dan pegawai sekretariat
KPU provinsi, pelaksana dan peserta kampanye sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 119, Panwaslu provinsi melakukan:
a. pelaporan tentang dugaan adanya tindak pidana Pemilu
dimaksud kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia;
atau
b. pelaporan kepada Bawaslu sebagai dasar untuk
mengeluarkan rekomendasi Bawaslu tentang sanksi.
Pasal 122
Panwaslu provinsi melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi Bawaslu tentang
pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120.
Pasal 123
(1) Bawaslu melakukan pengawasan pelaksanaan tahapan
kampanye secara nasional, terhadap:
a. kemungkinan adanya kesengajaan atau kelalaian
anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota,
Sekretaris Jenderal KPU, pegawai Seretariat Jenderal
KPU, sekretaris KPU provinsi, pegawai sekretariat KPU
provinsi, sekretaris KPU kabupaten/kota, dan pegawai
sekretariat KPU kabupaten/kota melakukan tindak
pidana Pemilu atau pelanggaran administratif yang
mengakibatkan terganggunya pelaksanaan kampanye
Pemilu yang sedang berlangsung; atau
b. kemungkinan adanya kesengajaan atau kelalaian
pelaksana kampanye, peserta kampanye, dan petugas
kampanye melakukan tindak pidana Pemilu atau
pelanggaran administratif yang mengakibatkan
terganggunya pelaksanaan kampanye Pemilu yang
sedang berlangsung.
(2) Dalam . . .
- 59 -
(2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bawaslu:
a. menerima laporan dugaan adanya pelanggaran
terhadap ketentuan pelaksanaan kampanye Pemilu;
b. menyelesaikan temuan dan laporan adanya
pelanggaran kampanye Pemilu yang tidak
mengandung unsur pidana;
c. menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU
tentang adanya pelanggaran kampanye Pemilu untuk
ditindaklanjuti;
d. meneruskan temuan dan laporan tentang dugaan
adanya tindak pidana Pemilu kepada Kepolisian
Negara Republik Indonesia;
e. memberikan rekomendasi kepada KPU tentang dugaan
adanya tindakan yang mengakibatkan terganggunya
pelaksanaan kampanye Pemilu oleh anggota KPU, KPU
provinsi, KPU kabupaten/kota, Sekretaris Jenderal
KPU, pegawai Sekretariat Jenderal KPU, sekretaris
KPU provinsi, pegawai sekretariat KPU provinsi,
sekretaris KPU kabupaten/kota, dan pegawai
sekretariat KPU kabupaten/kota berdasarkan laporan
Panwaslu provinsi dan Panwaslu kabupaten/kota;
dan/atau
f. mengawasi pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi
pengenaan sanksi kepada anggota KPU, KPU provinsi,
KPU kabupaten/kota, Sekretaris Jenderal KPU,
pegawai Sekretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU
provinsi, pegawai sekretariat KPU provinsi, sekretaris
KPU kabupaten/kota, dan pegawai sekretariat KPU
kabupaten/kota yang terbukti melakukan tindakan
yang mengakibatkan terganggunya pelaksanaan
kampanye Pemilu yang sedang berlangsung.
Pasal 124
(1) Dalam hal Bawaslu menerima laporan dugaan adanya
pelanggaran administratif terhadap ketentuan
pelaksanaan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 123 ayat (2) huruf a, Bawaslu menetapkan
penyelesaian pada hari yang sama diterimanya laporan.
(2) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup tentang
dugaan adanya pelanggaran administratif oleh pelaksana
dan peserta kampanye di tingkat pusat, Bawaslu
menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU.
(3)Dalam . . .
- 60 -
(3) Dalam hal KPU menerima laporan dan temuan yang
mengandung bukti permulaan yang cukup tentang
dugaan adanya pelanggaran administratif oleh pelaksana
dan peserta kampanye sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), KPU langsung menetapkan penyelesaian pada
hari yang sama dengan hari diterimanya laporan.
(4) Dalam hal Bawaslu menerima laporan dugaan
pelanggaran administratif terhadap ketentuan
pelaksanaan kampanye Pemilu oleh anggota KPU, KPU
provinsi, KPU kabupaten/kota, Sekretaris Jenderal KPU,
pegawai Sekretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU
provinsi, pegawai sekretariat KPU provinsi, sekretaris KPU
kabupaten/kota, dan pegawai sekretariat KPU
kabupaten/kota, maka Bawaslu memberikan
rekomendasi kepada KPU untuk memberikan sanksi.
Pasal 125
(1) Sanksi terhadap pelanggaran administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 124 ayat (3) selain yang diatur
dalam Undang-Undang ini ditetapkan oleh KPU bersama
Bawaslu.
(2) Sanksi terhadap pelanggaran administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 124 ayat (4) selain yang diatur
dalam Undang-Undang ini ditetapkan dalam kode etik
yang disusun secara bersama oleh KPU dan Bawaslu
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 126
Dalam hal Bawaslu menerima laporan dugaan adanya tindak
pidana Pemilu yang dilakukan oleh anggota KPU, KPU provinsi,
KPU kabupaten/kota, Sekretaris Jenderal KPU, pegawai
Sekretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi, pegawai
sekretariat KPU provinsi, sekretaris KPU kabupaten/kota, dan
pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota, pelaksana dan
peserta kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123
ayat (1) dalam pelaksanaan kampanye Pemilu, Bawaslu
melakukan:
a. pelaporan tentang dugaan adanya tindak pidana Pemilu
dimaksud kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia;
atau
b. pemberian rekomendasi kepada KPU untuk menetapkan
sanksi.
Pasal 127 . . .
- 61 -
Pasal 127
Bawaslu melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tindak
lanjut rekomendasi Bawaslu tentang pengenaan sanksi
penonaktifan sementara dan/atau sanksi administratif kepada
anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, Sekretaris
Jenderal, pegawai Sekretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU
provinsi, pegawai sekretariat KPU provinsi, sekretaris KPU
kabupaten/kota, dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota
yang terbukti melakukan tindak pidana Pemilu atau
pelanggaran administratif yang mengakibatkan terganggunya
pelaksanaan kampanye yang sedang berlangsung sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 126.
Pasal 128
Pengawasan oleh Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu
kabupaten/kota serta tindak lanjut KPU, KPU provinsi, dan
KPU kabupaten/kota terhadap temuan atau laporan yang
diterima tidak memengaruhi jadwal pelaksanaan kampanye
sebagaimana yang telah ditetapkan.
Bagian Kesepuluh
Dana Kampanye Pemilu
Pasal 129
(1) Kegiatan kampanye Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota didanai dan menjadi tanggung
jawab Partai Politik Peserta Pemilu masing-masing.
(2) Dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bersumber dari:
a. partai politik;
b. calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota dari partai politik yang bersangkutan;
dan
c. sumbangan yang sah menurut hukum dari pihak lain.
(3) Dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat berupa uang, barang dan/atau jasa.
(4) Dana kampanye Pemilu berupa uang sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) ditempatkan pada rekening
khusus dana kampanye Partai Politik Peserta Pemilu pada
bank.
(5) Dana . . .
- 62 -
(5) Dana kampanye Pemilu berupa sumbangan dalam bentuk
barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dicatat berdasarkan harga pasar yang wajar pada
saat sumbangan itu diterima.
(6) Dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dicatat dalam pembukuan penerimaan dan
pengeluaran khusus dana kampanye Pemilu yang
terpisah dari pembukuan keuangan partai politik.
(7) Pembukuan dana kampanye Pemilu sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) dimulai sejak 3 (tiga) hari setelah
partai politik ditetapkan sebagai Peserta Pemilu dan
ditutup 1 (satu) minggu sebelum penyampaian laporan
penerimaan dan pengeluaran dana kampanye kepada
kantor akuntan publik yang ditunjuk KPU.
Pasal 130
Dana kampanye Pemilu yang bersumber dari sumbangan
pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 ayat (2)
huruf c bersifat tidak mengikat dan dapat berasal dari
perseorangan, kelompok, perusahaan, dan/atau badan usaha
nonpemerintah.
Pasal 131
(1) Dana kampanye Pemilu yang berasal dari sumbangan
pihak lain perseorangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 129 ayat (2) huruf c tidak boleh melebihi
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Dana kampanye Pemilu yang berasal dari sumbangan
pihak lain kelompok, perusahaan dan/atau badan
usaha nonpemerintah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 129 ayat (2) huruf c tidak boleh melebihi
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(3) Pemberi sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) harus mencantumkan identitas yang jelas.
Pasal 132
(1) Kegiatan kampanye Pemilu anggota DPD didanai dan
menjadi tanggung jawab calon anggota DPD masingmasing.
(2) Dana . . .
- 63 -
(2) Dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bersumber dari:
a. calon anggota DPD yang bersangkutan; dan
b. sumbangan yang sah menurut hukum dari pihak lain.
(3) Dana kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat berupa uang, barang dan/atau jasa.
(4) Dana kampanye Pemilu berupa uang sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) ditempatkan pada rekening
khusus dana kampanye Pemilu calon anggota DPD yang
bersangkutan pada bank.
(5) Dana kampanye Pemilu berupa sumbangan dalam bentuk
barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dicatat berdasarkan harga pasar yang wajar pada
saat sumbangan itu diterima.
(6) Dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dicatat dalam pembukuan penerimaan dan
pengeluaran khusus dana kampanye Pemilu yang
terpisah dari pembukuan keuangan pribadi calon anggota
DPD yang bersangkutan.
(7) Pembukuan dana kampanye Pemilu sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) dimulai sejak 3 (tiga) hari setelah
calon anggota DPD ditetapkan sebagai Peserta Pemilu dan
ditutup 1 (satu) minggu sebelum penyampaian laporan
penerimaan dan pengeluaran dana kampanye Pemilu
kepada kantor akuntan publik yang ditunjuk KPU.
Pasal 133
(1) Dana kampanye Pemilu calon anggota DPD yang berasal
dari sumbangan pihak lain perseorangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 132 ayat (2) huruf b tidak boleh
melebihi Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah).
(2) Dana kampanye Pemilu calon anggota DPD yang berasal
dari sumbangan pihak lain kelompok, perusahaan
dan/atau badan usaha nonpemerintah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 132 ayat (2) huruf b tidak boleh
melebihi Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Pemberi . . .
- 64 -
(3) Pemberi sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) harus mencantumkan identitas yang jelas.
Pasal 134
(1) Partai Politik Peserta Pemilu sesuai dengan tingkatannya
memberikan laporan awal dana kampanye Pemilu dan
rekening khusus dana kampanye kepada KPU, KPU
provinsi, dan KPU kabupaten/kota paling lambat 7
(tujuh) hari sebelum hari pertama jadwal pelaksanaan
kampanye dalam bentuk rapat umum.
(2) Calon anggota DPD Peserta Pemilu memberikan laporan
awal dana kampanye Pemilu dan rekening khusus dana
kampanye kepada KPU melalui KPU provinsi paling
lambat 7 (tujuh) hari sebelum hari pertama jadwal
pelaksanaan kampanye dalam bentuk rapat umum.
Pasal 135
(1) Laporan dana kampanye Partai Politik Peserta Pemilu
yang meliputi penerimaan dan pengeluaran disampaikan
kepada kantor akuntan publik yang ditunjuk oleh KPU
paling lama 15 (lima belas) hari sesudah hari/tanggal
pemungutan suara.
(2) Laporan dana kampanye calon anggota DPD yang
meliputi penerimaan dan pengeluaran disampaikan
kepada kantor akuntan publik yang ditunjuk oleh KPU
paling lama 15 (lima belas) hari sesudah hari/tanggal
pemungutan suara.
(3) Kantor akuntan publik menyampaikan hasil audit kepada
KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota paling lama
30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota
memberitahukan hasil audit dana kampanye Peserta
Pemilu masing-masing kepada Peserta Pemilu paling lama
7 (tujuh) hari setelah KPU, KPU provinsi, dan KPU
kabupaten/kota menerima hasil audit dari kantor
akuntan publik.
(5) KPU . .
.
- 65 -
(5) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota
mengumumkan hasil pemeriksaan dana kampanye
kepada publik paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah
diterimanya laporan hasil pemeriksaan.
Pasal 136
(1) KPU menetapkan kantor akuntan publik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 135 ayat (1) dan ayat (2) yang
memenuhi persyaratan di setiap provinsi.
(2) Kantor akuntan publik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling sedikit memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. membuat pernyataan tertulis di atas kertas bermeterai
cukup bahwa rekan yang bertanggung jawab atas
pemeriksaan laporan dana kampanye tidak berafiliasi
secara langsung ataupun tidak langsung dengan partai
politik dan calon anggota DPD Peserta Pemilu;
b. membuat pernyataan tertulis di atas kertas bermeterai
cukup bahwa rekan yang bertanggung jawab atas
pemeriksaan laporan dana kampanye bukan
merupakan anggota atau pengurus partai politik.
(3) Biaya jasa akuntan publik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dibebankan pada anggaran pendapatan dan
belanja negara.
Pasal 137
(1) Dalam hal kantor akuntan publik yang ditunjuk oleh KPU
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 ayat (1) dalam
proses pelaksanaan audit diketahui tidak memberikan
informasi yang benar mengenai persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2), KPU membatalkan
penunjukan kantor akuntan publik yang bersangkutan.
(2) Kantor akuntan publik yang dibatalkan pekerjaannya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berhak
mendapatkan pembayaran jasa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 136 ayat (3).
(3) KPU menunjuk kantor akuntan publik pengganti untuk
melanjutkan pelaksanaan audit atas laporan dana
kampanye partai yang bersangkutan.
Pasal 138 . . .
- 66 -
Pasal 138
(1) Dalam hal pengurus partai politik Peserta Pemilu tingkat
pusat, tingkat provinsi, dan tingkat kabupaten/kota tidak
menyampaikan laporan awal dana kampanye kepada
KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota sampai
batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134
ayat (1), partai politik yang bersangkutan dikenai sanksi
berupa pembatalan sebagai Peserta Pemilu pada wilayah
yang bersangkutan.
(2) Dalam hal calon anggota DPD Peserta Pemilu tidak
menyampaikan laporan awal dana kampanye kepada KPU
melalui KPU provinsi sampai batas waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 134 ayat (2), calon anggota DPD
yang bersangkutan dikenai sanksi berupa pembatalan
sebagai Peserta Pemilu.
(3) Dalam hal pengurus partai politik Peserta Pemilu tingkat
pusat, tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota tidak
menyampaikan laporan penerimaan dan pengeluaran
dana kampanye kepada kantor akuntan publik yang
ditunjuk oleh KPU sampai batas waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 135 ayat (1), partai politik yang
bersangkutan dikenai sanksi berupa tidak ditetapkannya
calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota menjadi calon terpilih.
(4) Dalam hal calon anggota DPD Peserta Pemilu tidak
menyampaikan laporan penerimaan dan pengeluaran
dana kampanye kepada kantor akuntan publik yang
ditunjuk oleh KPU sampai batas waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 135 ayat (2), calon anggota DPD
yang bersangkutan dikenai sanksi berupa tidak
ditetapkan menjadi calon terpilih.
Pasal 139
(1) Peserta Pemilu dilarang menerima sumbangan yang
berasal dari:
a. pihak asing;
b. penyumbang yang tidak jelas identitasnya;
c. Pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik
negara, dan badan usaha milik daerah; atau
d. pemerintah desa dan badan usaha milik desa.
(2) Peserta . . .
- 67 -
(2) Peserta Pemilu yang menerima sumbangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak dibenarkan menggunakan
dana tersebut dan wajib melaporkannya kepada KPU dan
menyerahkan sumbangan tersebut kepada kas negara
paling lambat 14 (empat belas) hari setelah masa
kampanye berakhir.
(3) Peserta Pemilu yang tidak memenuhi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang ini.
Pasal 140
Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup bahwa
pelaksana kampanye Peserta Pemilu melanggar larangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139, KPU, KPU provinsi,
dan KPU kabupaten/kota melakukan tindakan hukum
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
BAB IX
PERLENGKAPAN PEMUNGUTAN SUARA
Pasal 141
(1) KPU bertanggung jawab dalam merencanakan dan
menetapkan standar serta kebutuhan pengadaan dan
pendistribusian perlengkapan pemungutan suara.
(2) Sekretaris Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi, dan
sekretaris KPU kabupaten/kota bertanggung jawab dalam
pelaksanaan pengadaan dan pendistribusian
perlengkapan pemungutan suara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
Pasal 142
(1) Jenis perlengkapan pemungutan suara terdiri atas:
a. kotak suara;
b. surat suara;
c. tinta;
d. bilik pemungutan suara;
e. segel;
f. alat untuk memberi tanda pilihan; dan
g. tempat pemungutan suara.
(2) Selain . . .
- 68 -
(2) Selain perlengkapan pemungutan suara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), untuk menjaga keamanan,
kerahasiaan, dan kelancaran pelaksanaan pemungutan
suara dan penghitungan suara, diperlukan dukungan
perlengkapan lainnya.
(3) Bentuk, ukuran, dan spesifikasi teknis perlengkapan
pemungutan suara ditetapkan dengan peraturan KPU.
(4) Pengadaan perlengkapan pemungutan suara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b,
huruf c, huruf d, dan huruf e dilaksanakan oleh
Sekretariat Jenderal KPU dengan berpedoman pada
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Pengadaan perlengkapan pemungutan suara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf d, huruf f, dan
ayat (2), Sekretaris Jenderal KPU dapat melimpahkan
kewenangannya kepada sekretaris KPU provinsi.
(6) Pengadaan perlengkapan pemungutan suara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g
dilaksanakan oleh KPPS bekerja sama dengan
masyarakat.
(7) Perlengkapan pemungutan suara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan
huruf e, huruf f, dan ayat (2) harus sudah diterima KPPS
paling lambat 1 (satu) hari sebelum hari/tanggal
pemungutan suara.
(8) Pendistribusian perlengkapan pemungutan suara
dilakukan oleh Sekretariat Jenderal KPU, sekretariat KPU
provinsi, dan sekretariat KPU kabupaten/kota.
(9) Dalam pendistribusian dan pengamanan perlengkapan
pemungutan suara, KPU dapat bekerja sama dengan
Pemerintah, pemerintah daerah, Tentara Nasional
Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 143
(1) Surat suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142
ayat (1) huruf b untuk calon anggota DPR, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota memuat tanda gambar partai
politik, nomor urut partai politik, nomor urut calon, dan
nama calon tetap partai politik untuk setiap daerah
pemilihan.
(2) Surat . . .
- 69 -
(2) Surat suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142
ayat (1) huruf b untuk calon anggota DPD berisi pas foto
diri terbaru dan nama calon anggota DPD untuk setiap
daerah pemilihan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai surat suara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan dalam peraturan KPU.
Pasal 144
(1) Jenis, bentuk, ukuran, warna, dan spesifikasi teknis lain
surat suara ditetapkan dalam peraturan KPU.
(2) Nomor urut tanda gambar partai politik dan calon
anggota DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143
ditetapkan dengan keputusan KPU.
Pasal 145
(1) Pengadaan surat suara dilakukan di dalam negeri dengan
mengutamakan kapasitas cetak yang sesuai dengan
kebutuhan surat suara dan hasil cetak yang berkualitas
baik.
(2) Jumlah surat suara yang dicetak sama dengan jumlah
pemilih tetap ditambah dengan 2% (dua perseratus) dari
jumlah pemilih tetap sebagai cadangan, yang ditetapkan
dengan keputusan KPU.
(3) Selain menetapkan pencetakan surat suara sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), KPU menetapkan besarnya
jumlah surat suara untuk pelaksanaan pemungutan
suara ulang.
(4) Jumlah surat suara sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditetapkan oleh KPU untuk setiap daerah pemilihan
sebanyak 1.000 (seribu) surat suara pemungutan suara
ulang yang diberi tanda khusus, masing-masing surat
suara untuk anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota.
Pasal 146
(1) Perusahaan pencetak surat suara dilarang mencetak
surat suara lebih dari jumlah yang ditetapkan oleh KPU
dan harus menjaga kerahasiaan, keamanan, serta
keutuhan surat suara.
(2) KPU . . .
- 70 -
(2) KPU meminta bantuan Kepolisian Negara Republik
Indonesia untuk mengamankan surat suara selama
proses pencetakan berlangsung, penyimpanan, dan
pendistribusian ke tempat tujuan.
(3) KPU memverifikasi jumlah surat suara yang telah dicetak,
jumlah yang sudah dikirim dan/atau jumlah yang masih
tersimpan dengan membuat berita acara yang
ditandatangani oleh pihak percetakan dan petugas KPU.
(4) KPU mengawasi dan mengamankan desain, film separasi,
dan plat cetak yang digunakan untuk membuat surat
suara, sebelum dan sesudah digunakan serta menyegel
dan menyimpannya.
(5) Tata cara pelaksanaan pengamanan terhadap
pencetakan, penghitungan, penyimpanan, pengepakan,
dan pendistribusian surat suara ke tempat tujuan
ditetapkan dengan peraturan KPU.
Pasal 147
Pengawasan atas pelaksanaan tugas dan wewenang KPU, KPU
provinsi, dan KPU kabupaten/kota serta Sekretariat Jenderal
KPU, sekretariat KPU provinsi, dan sekretariat KPU
kabupaten/kota mengenai pengadaan dan pendistribusian
perlengkapan pemungutan suara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 142 dilaksanakan oleh Bawaslu dan Badan
Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia.
BAB X
PEMUNGUTAN SUARA
Pasal 148
(1) Pemungutan suara Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota diselenggarakan
secara serentak.
(2) Hari, tanggal, dan waktu pemungutan suara pemilihan
anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota untuk semua daerah pemilihan
ditetapkan dengan keputusan KPU.
Pasal 149
(1) Pemilih yang berhak mengikuti pemungutan suara di TPS
meliputi:
a. pemilih . . .
- 71 -
a. pemilih yang terdaftar pada daftar pemilih tetap pada
TPS yang bersangkutan; dan
b. pemilih yang terdaftar pada daftar pemilih tambahan.
(2) Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dapat menggunakan haknya untuk memilih di TPS
lain/TPSLN dengan menunjukkan surat pemberitahuan
dari PPS untuk memberikan suara di TPS lain/TPSLN.
(3) Dalam hal pada suatu TPS terdapat pemilih sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, KPPS pada TPS tersebut
mencatat dan melaporkan kepada KPU kabupaten/kota
melalui PPK.
Pasal 150
(1) Pemilih untuk setiap TPS paling banyak 500 (lima ratus)
orang.
(2) Jumlah surat suara di setiap TPS sama dengan jumlah
pemilih yang tercantum di dalam daftar pemilih tetap dan
daftar pemilih tambahan ditambah dengan 2% (dua
perseratus) dari daftar pemilih tetap sebagai cadangan.
(3) Penggunaan surat suara cadangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dibuatkan berita acara.
(4) Format berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditetapkan dengan peraturan KPU.
Pasal 151
(1) Pelaksanaan pemungutan suara dipimpin oleh KPPS.
(2) Pemberian suara dilaksanakan oleh pemilih.
(3) Pelaksanaan pemungutan suara disaksikan oleh saksi
Peserta Pemilu.
(4) Penanganan ketenteraman, ketertiban, dan keamanan di
setiap TPS dilaksanakan oleh 2 (dua) orang petugas yang
ditetapkan oleh PPS.
(5) Pengawasan pemungutan suara dilaksanakan oleh
Pengawas Pemilu Lapangan.
(6) Pemantauan . . .
- 72 -
(6) Pemantauan pemungutan suara dilaksanakan oleh
pemantau Pemilu yang telah diakreditasi oleh KPU, KPU
provinsi, dan KPU kabupaten/kota.
(7) Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus
menyerahkan mandat tertulis dari Partai Politik Peserta
Pemilu atau dari calon anggota DPD.
Pasal 152
(1) Dalam rangka persiapan pemungutan suara, KPPS
melakukan kegiatan yang meliputi:
a. penyiapan TPS;
b. pengumuman dengan menempelkan daftar pemilih
tetap, daftar pemilih tambahan, dan daftar calon tetap
anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota di TPS; dan
c. penyerahan salinan daftar pemilih tetap dan daftar
pemilih tambahan kepada saksi yang hadir dan
Pengawas Pemilu Lapangan.
(2) Dalam rangka pelaksanaan pemungutan suara, KPPS
melakukan kegiatan yang meliputi:
a. pemeriksaan persiapan akhir pemungutan suara;
b. rapat pemungutan suara;
c. pengucapan sumpah atau janji anggota KPPS dan
petugas ketenteraman, ketertiban, dan keamanan TPS;
d. penjelasan kepada pemilih tentang tata cara
pemungutan suara; dan
e. pelaksanaan pemberian suara.
Pasal 153
(1) Pemberian suara untuk Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan dengan
memberikan tanda satu kali pada surat suara.
(2) Memberikan tanda satu kali sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan berdasarkan prinsip memudahkan
pemilih, akurasi dalam penghitungan suara, dan efisien
dalam penyelenggaraan Pemilu.
(3) Ketentuan . . .
- 73 -
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara memberikan
tanda diatur dengan peraturan KPU.
Pasal 154
(1) Sebelum melaksanakan pemungutan suara, KPPS:
a. membuka kotak suara;
b. mengeluarkan seluruh isi kotak suara;
c. mengidentifikasi jenis dokumen dan peralatan;
d. menghitung jumlah setiap jenis dokumen dan
peralatan;
e. memeriksa keadaan seluruh surat suara; dan
f. menandatangani surat suara yang akan digunakan
oleh pemilih.
(2) Saksi Peserta Pemilu, pengawas Pemilu, pemantau Pemilu,
dan warga masyarakat berhak menghadiri kegiatan KPPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketua KPPS wajib membuat dan menandatangani berita
acara kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
berita acara tersebut ditandatangani oleh paling sedikit
2 (dua) orang anggota KPPS dan saksi Peserta Pemilu yang
hadir.
Pasal 155
(1) Dalam memberikan suara, pemilih diberi kesempatan oleh
KPPS berdasarkan prinsip urutan kehadiran pemilih.
(2) Apabila pemilih menerima surat suara yang ternyata
rusak, pemilih dapat meminta surat suara pengganti
kepada KPPS dan KPPS wajib memberikan surat suara
pengganti hanya 1 (satu) kali dan mencatat surat suara
yang rusak dalam berita acara.
(3) Apabila terdapat kekeliruan dalam memberikan suara,
pemilih dapat meminta surat suara pengganti kepada
KPPS dan KPPS hanya memberikan surat suara pengganti
1 (satu) kali.
Pasal 156 . . .
- 74 -
Pasal 156
(1) Pemilih tunanetra, tunadaksa, dan yang mempunyai
halangan fisik lain saat memberikan suaranya di TPS
dapat dibantu oleh orang lain atas permintaan pemilih.
(2) Orang lain yang membantu pemilih dalam memberikan
suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
merahasiakan pilihan pemilih.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian bantuan
kepada pemilih ditetapkan dengan peraturan KPU.
Pasal 157
(1) Pemungutan suara bagi Warga Negara Indonesia yang
berada di luar negeri hanya memilih calon anggota DPR.
(2) Pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan di setiap Perwakilan Republik Indonesia
dan dilakukan pada waktu yang sama atau waktu yang
disesuaikan dengan waktu pemungutan suara di
Indonesia.
(3) Dalam hal pemilih tidak dapat memberikan suara di
TPSLN yang telah ditentukan, pemilih dapat memberikan
suara melalui pos yang disampaikan kepada PPLN di
Perwakilan Republik Indonesia setempat.
Pasal 158
(1) Pemilih yang berhak mengikuti pemungutan suara di
TPSLN meliputi:
a. pemilih yang terdaftar pada daftar pemilih tetap pada
TPSLN yang bersangkutan; dan
b. pemilih yang terdaftar pada daftar pemilih tambahan.
(2) Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dapat menggunakan haknya untuk memilih di TPSLN
lain/TPS dengan menunjukkan surat pemberitahuan dari
PPLN untuk memberikan suara di TPSLN lain/TPS.
(3) KPPSLN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencatat
dan melaporkan kepada PPLN.
Pasal 159 . . .
- 75 -
Pasal 159
Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri yang tidak
terdaftar sebagai pemilih tidak dapat menggunakan haknya
untuk memilih.
Pasal 160
(1) Pelaksanaan pemungutan suara di TPSLN dipimpin oleh
KPPSLN.
(2) Pemberian suara dilaksanakan oleh pemilih.
(3) Pelaksanaan pemungutan suara disaksikan oleh saksi
Partai Politik Peserta Pemilu.
(4) Pengawasan pemungutan suara dilaksanakan oleh
Pengawas Pemilu Luar Negeri.
(5) Pemantauan pemungutan suara dilaksanakan oleh
pemantau Pemilu yang telah diakreditasi oleh KPU.
(6) Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus
menyerahkan mandat tertulis dari Partai Politik Peserta
Pemilu.
Pasal 161
(1) Dalam rangka persiapan pemungutan suara, KPPSLN
melakukan kegiatan yang meliputi:
a. penyiapan TPSLN;
b. pengumuman dengan menempelkan daftar pemilih
tetap, daftar pemilih tambahan, dan daftar calon tetap
anggota DPR di TPSLN; dan
c. penyerahan salinan daftar pemilih tetap dan daftar
pemilih tambahan kepada saksi yang hadir dan
Pengawas Pemilu Luar Negeri.
(2) Dalam rangka pelaksanaan pemungutan suara, KPPSLN
melakukan kegiatan yang meliputi:
a. pemeriksaan persiapan akhir pemungutan suara;
b. rapat pemungutan suara;
c. pengucapan . . .
- 76 -
c. pengucapan sumpah atau janji anggota KPPSLN dan
petugas ketenteraman, ketertiban, dan keamanan
TPSLN;
d. penjelasan kepada pemilih tentang tata cara
pemungutan suara; dan
e. pelaksanaan pemberian suara.
Pasal 162
(1) Sebelum melaksanakan pemungutan suara, KPPSLN:
a. membuka kotak suara;
b. mengeluarkan seluruh isi kotak suara;
c. mengidentifikasi jenis dokumen dan peralatan;
d. menghitung jumlah setiap jenis dokumen dan
peralatan;
e. memeriksa keadaan seluruh surat suara; dan
f. menandatangani surat suara yang akan digunakan
oleh pemilih.
(2) Saksi Partai Politik Peserta Pemilu, Pengawas Pemilu Luar
Negeri, pemantau Pemilu, dan warga masyarakat berhak
menghadiri kegiatan KPPSLN sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(3) Ketua KPPSLN wajib membuat dan menandatangani berita
acara kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
berita acara tersebut ditandatangani oleh paling sedikit
2 (dua) orang anggota KPPSLN dan saksi Partai Politik
Peserta Pemilu yang hadir.
Pasal 163
(1) Dalam memberikan suara, pemilih diberi kesempatan oleh
KPPSLN berdasarkan prinsip urutan kehadiran pemilih.
(2) Apabila pemilih menerima surat suara yang ternyata
rusak, pemilih dapat meminta surat suara pengganti
kepada KPPSLN dan KPPSLN wajib memberikan surat
suara pengganti hanya 1 (satu) kali dan mencatat surat
suara yang rusak dalam berita acara.
(3) Apabila . . .
- 77 -
(3) Apabila terdapat kekeliruan dalam memberikan suara,
pemilih dapat meminta surat suara pengganti kepada
KPPSLN dan KPPSLN hanya memberikan surat suara
pengganti 1 (satu) kali.
Pasal 164
(1) Pemilih tunanetra, tunadaksa, dan yang mempunyai
halangan fisik lain saat memberikan suaranya di TPSLN
dapat dibantu oleh orang lain atas permintaan pemilih.
(2) Orang lain yang membantu pemilih dalam memberikan
suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
merahasiakan pilihan pemilih.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian bantuan
kepada pemilih ditetapkan dengan peraturan KPU.
Pasal 165
(1) Pemilih tidak boleh membubuhkan tulisan dan/atau
catatan lain pada surat suara.
(2) Surat suara yang terdapat tulisan dan/atau catatan lain
dinyatakan tidak sah.
Pasal 166
(1) Pemilih yang telah memberikan suara, diberi tanda
khusus oleh KPPS/KPPSLN.
(2) Tanda khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dalam peraturan KPU.
Pasal 167
(1) KPPS/KPPSLN dilarang mengadakan penghitungan suara
sebelum pemungutan suara berakhir.
(2) Ketentuan mengenai waktu berakhirnya pemungutan
suara ditetapkan dalam peraturan KPU.
Pasal 168
(1) KPPS/KPPSLN bertanggung jawab atas pelaksanaan
pemungutan suara secara tertib dan lancar.
(2) Pemilih . . .
- 78 -
(2) Pemilih melakukan pemberian suara dengan tertib dan
bertanggung jawab.
(3) Saksi melakukan tugasnya dengan tertib dan
bertanggung jawab.
(4) Petugas ketertiban, ketenteraman dan keamanan wajib
menjaga ketertiban, ketenteraman dan keamanan di
lingkungan TPS/TPSLN.
(5) Pengawas Pemilu Lapangan/Pengawas Pemilu Luar Negeri
wajib melakukan pengawasan atas pelaksanaan
pemungutan suara dengan tertib dan bertanggung jawab.
Pasal 169
(1) Warga masyarakat yang tidak memiliki hak pilih atau
yang tidak sedang melaksanakan pemberian suara
dilarang berada di dalam TPS/TPSLN.
(2) Pemantau Pemilu dilarang berada di dalam TPS/TPSLN.
(3) Warga masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) memelihara ketertiban dan kelancaran
pelaksanaan pemungutan suara.
Pasal 170
(1) Dalam hal terjadi penyimpangan pelaksanaan
pemungutan suara oleh KPPS/KPPSLN, Pengawas Pemilu
Lapangan/Pengawas Pemilu Luar Negeri memberikan
saran perbaikan disaksikan oleh saksi yang hadir dan
petugas ketenteraman, ketertiban, dan keamanan
TPS/TPSLN.
(2) KPPS/KPPSLN seketika itu juga menindaklanjuti saran
perbaikan yang disampaikan oleh pengawas Pemilu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 171
(1) Dalam hal terjadi pelanggaran ketenteraman, ketertiban,
dan keamanan pelaksanaan pemungutan suara oleh
anggota masyarakat dan/atau oleh pemantau Pemilu,
petugas ketenteraman, ketertiban, dan keamanan
melakukan penanganan secara memadai.
(2) Dalam . . .
- 79 -
(2) Dalam hal anggota masyarakat dan/atau pemantau
Pemilu tidak mematuhi penanganan oleh petugas
ketenteraman, ketertiban, dan keamanan, yang
bersangkutan diserahkan kepada petugas Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
BAB XI
PENGHITUNGAN SUARA
Bagian Kesatu
Penghitungan Suara di TPS/TPSLN
Pasal 172
(1) Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan
suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota di TPS dilaksanakan oleh KPPS.
(2) Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan
suara calon anggota DPR di TPSLN dilaksanakan oleh
KPPSLN.
(3) Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan
suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota di TPS disaksikan oleh saksi
Peserta Pemilu.
(4) Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan
suara calon anggota DPR di TPSLN disaksikan oleh saksi
Peserta Pemilu.
(5) Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan
suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota di TPS diawasi oleh Pengawas
Pemilu Lapangan.
(6) Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan
suara calon anggota DPR di TPSLN diawasi oleh Pengawas
Pemilu Luar Negeri.
(7) Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan
suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota di TPS dipantau oleh pemantau
Pemilu dan masyarakat.
(8) Penghitungan . .
.
- 80 -
(8) Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan
suara calon anggota DPR di TPSLN dipantau oleh
pemantau Pemilu dan masyarakat.
(9) Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)
yang belum menyerahkan mandat tertulis pada saat
pemungutan suara harus menyerahkan mandat tertulis
dari Peserta Pemilu kepada ketua KPPS/KPPSLN.
Pasal 173
(1) Penghitungan suara di TPS/TPSLN dilaksanakan setelah
waktu pemungutan suara berakhir.
(2) Penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya dilakukan dan selesai di TPS/TPSLN yang
bersangkutan pada hari/tanggal pemungutan suara.
Pasal 174
(1) KPPS melakukan penghitungan suara Partai Politik
Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di dalam TPS.
(2) KPPSLN melakukan penghitungan suara Partai Politik
Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR di dalam
TPSLN.
(3) Saksi menyaksikan dan mencatat pelaksanaan
penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan
suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota di dalam TPS/TPSLN.
(4) Pengawas Pemilu Lapangan mengawasi pelaksanaan
penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan
suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota di dalam TPS.
(5) Pengawas Pemilu Luar Negeri mengawasi pelaksanaan
penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan
suara calon anggota DPR di dalam TPSLN.
(6) Pemantau Pemilu memantau pelaksanaan penghitungan
suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon
anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota di luar TPS.
(7) Pemantau . . .
- 81 -
(7) Pemantau Pemilu memantau pelaksanaan penghitungan
suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon
anggota DPR di luar TPSLN.
(8) Warga masyarakat menyaksikan pelaksanaan
penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan
suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota di luar TPS.
(9) Warga masyarakat menyaksikan pelaksanaan
penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan
suara calon anggota DPR di luar TPSLN.
Pasal 175
(1) Sebelum melaksanakan penghitungan suara,
KPPS/KPPSLN menghitung:
a. jumlah pemilih yang memberikan suara berdasarkan
salinan daftar pemilih tetap;
b. jumlah pemilih yang berasal dari TPS/TPSLN lain;
c. jumlah surat suara yang tidak terpakai;
d. jumlah surat suara yang dikembalikan oleh pemilih
karena rusak atau salah dalam cara memberikan
suara; dan
e. sisa surat suara cadangan.
(2) Penggunaan surat suara cadangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf e dibuatkan berita acara
yang ditandatangani oleh ketua KPPS/KPPSLN dan oleh
paling sedikit 2 (dua) orang anggota KPPS/KPPSLN yang
hadir.
Pasal 176
(1) Suara untuk Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota dinyatakan sah apabila:
a. surat suara ditandatangani oleh Ketua KPPS; dan
b. pemberian tanda satu kali pada kolom nama partai
atau kolom nomor calon atau kolom nama calon
anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota.
(2) Suara . . .
- 82 -
(2) Suara untuk Pemilu anggota DPD dinyatakan sah
apabila:
a. surat suara ditandatangani oleh Ketua KPPS; dan
b. pemberian tanda satu kali pada foto salah satu calon
anggota DPD.
(3) Ketentuan mengenai pedoman teknis pelaksanaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
lebih lanjut dengan peraturan KPU.
Pasal 177
(1) Ketua KPPS/KPPSLN melakukan penghitungan suara
dengan suara yang jelas dan terdengar dengan
memperlihatkan surat suara yang dihitung.
(2) Penghitungan suara dilakukan secara terbuka dan di
tempat yang terang atau yang mendapat penerangan
cahaya cukup.
(3) Penghitungan suara dicatat pada lembar/papan/layar
penghitungan dengan tulisan yang jelas dan terbaca.
(4) Format penulisan penghitungan suara sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dalam peraturan KPU.
Pasal 178
(1) Peserta Pemilu, saksi, Pengawas Pemilu
Lapangan/Pengawas Pemilu Luar Negeri dan masyarakat
dapat menyampaikan laporan atas dugaan adanya
pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dalam
pelaksanaan penghitungan suara kepada KPPS/KPPSLN.
(2) Peserta Pemilu dan warga masyarakat melalui saksi
Peserta Pemilu atau Pengawas Pemilu Lapangan/
Pengawas Pemilu Luar Negeri yang hadir dapat
mengajukan keberatan terhadap jalannya penghitungan
suara oleh KPPS/KPPSLN apabila ternyata terdapat hal
yang tidak sesuai dengan peraturan perundangundangan.
(3) Dalam hal keberatan yang diajukan melalui saksi Peserta
Pemilu atau Pengawas Pemilu Lapangan/Pengawas
Pemilu Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat diterima, KPPS/KPPSLN seketika itu juga
mengadakan pembetulan.
Pasal 179 . . .
- 83 -
Pasal 179
(1) Hasil penghitungan suara di TPS/TPSLN dituangkan ke
dalam berita acara pemungutan dan penghitungan suara
serta ke dalam sertifikat hasil penghitungan suara Pemilu
anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota dengan menggunakan format yang
ditetapkan dalam peraturan KPU.
(2) Berita acara pemungutan dan penghitungan suara serta
sertifikat hasil penghitungan suara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh seluruh
anggota KPPS/KPPSLN dan saksi Peserta Pemilu yang
hadir.
(3) Dalam hal terdapat anggota KPPS/KPPSLN dan saksi
Peserta Pemilu yang hadir tidak bersedia menandatangani
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berita acara
pemungutan dan penghitungan suara serta sertifikat
hasil penghitungan suara ditandatangani oleh anggota
KPPS/KPPSLN dan saksi Peserta Pemilu yang hadir yang
bersedia menandatangani.
Pasal 180
(1) KPPS/KPPSLN mengumumkan hasil penghitungan suara
di TPS/TPSLN.
(2) KPPS wajib memberikan 1 (satu) eksemplar berita acara
pemungutan dan penghitungan suara serta sertifikat
hasil penghitungan suara kepada saksi Peserta Pemilu,
Pengawas Pemilu Lapangan, PPS, dan PPK melalui PPS
pada hari yang sama.
(3) KPPSLN wajib memberikan 1 (satu) eksemplar berita
acara pemungutan dan penghitungan suara serta
sertifikat hasil penghitungan suara kepada saksi Peserta
Pemilu, Pengawas Pemilu Luar Negeri dan PPLN pada hari
yang sama.
(4) KPPS/KPPSLN wajib menyegel, menjaga, dan
mengamankan keutuhan kotak suara setelah
penghitungan suara.
(5) KPPS/KPPSLN . . .
- 84 -
(5) KPPS/KPPSLN wajib menyerahkan kotak suara tersegel
yang berisi surat suara, berita acara pemungutan suara
serta sertifikat hasil penghitungan suara kepada PPK
melalui PPS atau kepada PPLN bagi KPPSLN pada hari
yang sama.
(6) Penyerahan kotak suara tersegel yang berisi surat suara,
berita acara pemungutan dan penghitungan suara serta
sertifikat hasil penghitungan suara kepada PPK
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib diawasi oleh
Pengawas Pemilu Lapangan dan Panwaslu kecamatan
serta wajib dilaporkan kepada Panwaslu kabupaten/kota.
Pasal 181
PPS wajib mengumumkan salinan sertifikat hasil penghitungan
suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180 ayat (2) dari
seluruh TPS di wilayah kerjanya dengan cara menempelkan
salinan tersebut di tempat umum.
Bagian Kedua
Rekapitulasi Penghitungan Perolehan Suara di Kecamatan
Pasal 182
(1) PPK membuat berita acara penerimaan hasil
penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan
suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota dari TPS melalui PPS.
(2) PPK melakukan rekapitulasi hasil penghitungan
perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara
calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dalam rapat yang dihadiri saksi Peserta Pemilu dan
Panwaslu kecamatan.
(3) Rekapitulasi penghitungan suara dilakukan dengan
membuka kotak suara tersegel untuk mengambil sampul
yang berisi berita acara pemungutan suara dan sertifikat
hasil penghitungan suara, kemudian kotak ditutup dan
disegel kembali.
(4) PPK . . .
- 85 -
(4) PPK membuat berita acara rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta
Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dan membuat
sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan
suara.
(5) PPK mengumumkan hasil rekapitulasi penghitungan
perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan
perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) di tempat umum.
(6) PPK menyerahkan berita acara rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta
Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dan sertifikat
rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara tersebut
kepada saksi Peserta Pemilu, Panwaslu kecamatan, dan
KPU kabupaten/kota.
Pasal 183
(1) Panwaslu kecamatan wajib menyampaikan laporan atas
dugaan adanya pelanggaran, penyimpangan dan/atau
kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta
Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada PPK.
(2) Saksi dapat menyampaikan laporan dugaan adanya
pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dalam
pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan
suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara
calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota kepada PPK.
(3) PPK wajib langsung menindaklanjuti laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) pada
hari pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan
perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan
perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota.
Pasal 184 . . .
- 86 -
Pasal 184
(1) Rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di PPK
dituangkan ke dalam berita acara rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi
hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta
Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan
menggunakan format yang ditetapkan dalam peraturan
KPU.
(2) Berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan
suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan
perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan
perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditandatangani oleh seluruh anggota PPK dan
saksi Peserta Pemilu yang hadir.
(3) Dalam hal terdapat anggota PPK dan saksi Peserta Pemilu
yang hadir, tetapi tidak bersedia menandatangani
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berita acara
rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan
sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara
Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon
anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota ditandatangani oleh anggota PPK dan
saksi Peserta Pemilu yang hadir yang bersedia
menandatangani.
Pasal 185
PPK wajib menyerahkan kepada KPU kabupaten/kota surat
suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota dari TPS dalam kotak suara tersegel serta
berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara
dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara
Partai Politik Peserta Pemilu di tingkat PPK yang dilampiri
berita acara pemungutan suara dan sertifikat hasil
penghitungan suara dari TPS.
Pasal 186 . . .
- 87 -
Pasal 186
(1) PPLN melakukan rekapitulasi hasil penghitungan
perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara
calon anggota DPR dari seluruh KPPSLN di wilayah
kerjanya serta melakukan penghitungan perolehan suara
yang diterima melalui pos dengan disaksikan oleh saksi
Peserta Pemilu yang hadir dan Pengawas Pemilu Luar
Negeri.
(2) PPLN wajib membuat dan menyerahkan berita acara
rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan
sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara
dari seluruh KPPSLN di wilayah kerjanya kepada KPU.
Bagian Ketiga
Rekapitulasi Penghitungan Perolehan Suara di Kabupaten/Kota
Pasal 187
(1) KPU kabupaten/kota membuat berita acara penerimaan
rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai
Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota
DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
dari PPK.
(2) KPU kabupaten/kota melakukan rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta
Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dalam rapat yang dihadiri saksi
Peserta Pemilu dan Panwaslu kabupaten/kota.
(3) KPU kabupaten/kota membuat berita acara rekapitulasi
hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat
rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai
Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota
DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
(4) KPU kabupaten/kota mengumumkan rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta
Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
(5) KPU . . .
- 88 -
(5) KPU kabupaten/kota menetapkan rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta
Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPRD
kabupaten/kota.
(6) KPU kabupaten/kota menyerahkan berita acara
rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan
sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara
Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon
anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota kepada saksi Peserta Pemilu, Panwaslu
kabupaten/kota, dan KPU provinsi.
Pasal 188
(1) Panwaslu kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan
atas dugaan adanya pelanggaran, penyimpangan
dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta
Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada KPU
kabupaten/kota.
(2) Saksi dapat menyampaikan laporan atas dugaan adanya
pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dalam
pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan
suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara
calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota kepada KPU kabupaten/kota.
(3) KPU kabupaten/kota wajib langsung menindaklanjuti
laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
pada hari pelaksanaan rekapitulasi penghitungan
perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan
perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota.
Pasal 189
(1) Rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di KPU
kabupaten/kota dituangkan ke dalam berita acara
rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan
sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara
Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon
anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota dengan menggunakan format yang
ditetapkan dalam peraturan KPU.
(2) Berita . . .
- 89 -
(2) Berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan
suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan
perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan
perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD, provinsi
dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditandatangani oleh seluruh anggota KPU
kabupaten/kota dan saksi Peserta Pemilu yang hadir.
(3) Dalam hal terdapat anggota KPU kabupaten/kota dan
saksi Peserta Pemilu yang hadir tetapi tidak bersedia
menandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan
suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan
perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan
perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota ditandatangani oleh anggota
KPU kabupaten/kota dan saksi Peserta Pemilu yang hadir
yang bersedia menandatangani.
Pasal 190
KPU kabupaten/kota menyimpan, menjaga dan mengamankan
keutuhan kotak suara setelah pelaksanaan rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu
dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota.
Bagian Keempat
Rekapitulasi Penghitungan Perolehan Suara di Provinsi
Pasal 191
(1) KPU provinsi membuat berita acara penerimaan
rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai
Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota
DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
dari KPU kabupaten/kota.
(2) KPU provinsi melakukan rekapitulasi hasil penghitungan
perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan
perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dalam rapat yang dihadiri saksi Peserta Pemilu.
(3) KPU . . .
- 90 -
(3) KPU provinsi membuat berita acara rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi
hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta
Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
(4) KPU provinsi mengumumkan rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta
Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD,
DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) KPU provinsi menetapkan rekapitulasi hasil penghitungan
perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan
perolehan suara calon anggota DPRD provinsi.
(6) KPU provinsi menyerahkan berita acara rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi
hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta
Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada saksi
Peserta Pemilu, Panwaslu provinsi, dan KPU.
Pasal 192
(1) Panwaslu provinsi wajib menyampaikan laporan atas
dugaan adanya pelanggaran, penyimpangan dan/atau
kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta
Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada KPU
provinsi.
(2) Saksi dapat menyampaikan laporan atas dugaan adanya
pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dalam
pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan
suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara
calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota kepada KPU provinsi.
(3) KPU provinsi wajib langsung menindaklanjuti laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) pada
hari pelaksanaan rekapitulasi penghitungan perolehan
suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara
calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota.
Pasal 193 . . .
- 91 -
Pasal 193
(1) Rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di KPU
provinsi dituangkan ke dalam berita acara rekapitulasi
hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat
rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai
Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota
DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
dengan menggunakan format yang ditetapkan dalam
peraturan KPU.
(2) Berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan
suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan
perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan
perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditandatangani oleh seluruh anggota KPU provinsi
dan saksi Peserta Pemilu yang hadir.
(3) Dalam hal terdapat anggota KPU provinsi dan saksi
Peserta Pemilu yang hadir tetapi tidak bersedia
menandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan
suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan
perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan
perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota ditandatangani oleh anggota
KPU provinsi dan saksi Peserta Pemilu yang hadir yang
bersedia menandatangani.
Bagian Kelima
Rekapitulasi Penghitungan Perolehan Suara Secara Nasional
Pasal 194
(1) KPU membuat berita acara penerimaan rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta
Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari KPU
provinsi.
(2) KPU melakukan rekapitulasi hasil rekapitulasi
penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta
Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dalam rapat yang dihadiri saksi
Peserta Pemilu dan Bawaslu.
(3) KPU . . .
- 92 -
(3) KPU membuat berita acara rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi
hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta
Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
(4) KPU mengumumkan rekapitulasi hasil penghitungan
perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan
perolehan suara calon anggota DPR dan DPD
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) KPU menetapkan rekapitulasi hasil penghitungan
perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan
perolehan suara calon anggota DPR dan DPD.
(6) KPU menyerahkan berita acara rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi
hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta
Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada saksi
Peserta Pemilu dan Bawaslu.
Pasal 195
(1) Bawaslu wajib menyampaikan laporan atas dugaan
adanya pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan
dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan
perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan
perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota kepada KPU.
(2) Saksi dapat menyampaikan laporan atas dugaan adanya
pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dalam
pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan
suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara
calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota kepada KPU.
(3) KPU wajib langsung menindaklanjuti laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) pada
hari pelaksanaan rekapitulasi penghitungan perolehan
suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara
calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota.
Pasal 196 . . .
- 93 -
Pasal 196
(1) Rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di KPU
dituangkan ke dalam berita acara rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi
hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta
Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan
menggunakan format yang ditetapkan dalam peraturan
KPU.
(2) Berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan
suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan
perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan
perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditandatangani oleh seluruh anggota KPU dan
saksi Peserta Pemilu yang hadir.
(3) Dalam hal terdapat anggota KPU dan saksi Peserta Pemilu
yang hadir tetapi tidak bersedia menandatangani
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berita acara
rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan
sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara
Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon
anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota ditandatangani oleh anggota KPU dan
saksi Peserta Pemilu yang hadir yang bersedia
menandatangani.
Pasal 197
Saksi Peserta Pemilu dalam rekapitulasi suara anggota DPR,
DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di PPK, KPU
kabupaten/kota, KPU provinsi, dan KPU harus menyerahkan
mandat tertulis dari Peserta Pemilu.
Bagian Keenam
Pengawasan dan Sanksi dalam
Penghitungan Suara dan Rekapitulasi Penghitungan Perolehan Suara
Pasal 198
(1) Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota,
Panwaslu kecamatan dan Pengawas Pemilu
Lapangan/Pengawas Pemilu Luar Negeri melakukan
pengawasan atas rekapitulasi penghitungan perolehan
suara yang dilaksanakan oleh KPU, KPU provinsi, KPU
kabupaten/kota, PPK, dan PPS/PPSLN.
(2) Pengawasan . . .
- 94 -
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan terhadap kemungkinan adanya pelanggaran,
penyimpangan dan/atau kesalahan oleh anggota KPU,
KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK/PPLN, PPS, dan
KPPS/KPPSLN dalam melakukan rekapitulasi
penghitungan perolehan suara.
(3) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup adanya
pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dalam
rekapitulasi penghitungan perolehan suara, Bawaslu,
Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu
kecamatan, dan Pengawas Pemilu Lapangan/Pengawas
Pemilu Luar Negeri melaporkan adanya pelanggaran,
penyimpangan dan/atau kesalahan kepada Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
(4) Anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota,
PPK/PPLN, PPS, dan KPPS/KPPSLN yang melakukan
pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dikenai
tindakan hukum sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-Undang ini.
BAB XII
PENETAPAN HASIL PEMILU
Bagian Kesatu
Hasil Pemilu
Pasal 199
(1) Hasil Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota terdiri atas perolehan suara partai
politik serta perolehan suara calon anggota DPR, DPD,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
(2) KPU wajib menetapkan secara nasional hasil Pemilu
anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota.
Bagian Kedua
Penetapan Perolehan Suara
Pasal 200
(1) Perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPR
dan perolehan suara untuk calon anggota DPD ditetapkan
oleh KPU dalam sidang pleno terbuka yang dihadiri oleh
para saksi Peserta Pemilu dan Bawaslu.
(2) Perolehan . . .
- 95 -
(2) Perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPRD
provinsi ditetapkan oleh KPU provinsi dalam sidang pleno
terbuka yang dihadiri oleh para saksi Peserta Pemilu dan
Panwaslu provinsi.
(3) Perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPRD
kabupaten/kota ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota
dalam sidang pleno terbuka yang dihadiri oleh para saksi
Peserta Pemilu dan Panwaslu kabupaten/kota.
Pasal 201
(1) KPU menetapkan hasil Pemilu secara nasional dan hasil
perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPR
dan perolehan suara untuk calon anggota DPD paling
lambat 30 (tiga puluh) hari setelah hari/tanggal
pemungutan suara.
(2) KPU provinsi menetapkan hasil perolehan suara partai
politik untuk calon anggota DPRD provinsi paling lambat
15 (lima belas) hari setelah hari/tanggal pemungutan
suara.
(3) KPU kabupaten/kota menetapkan hasil perolehan suara
partai politik untuk calon anggota DPRD kabupaten/kota
paling lambat 12 (dua belas) hari setelah hari/tanggal
pemungutan suara.
Pasal 202
(1) Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang
batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua
koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara
nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan
kursi DPR.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku dalam penentuan perolehan kursi DPRD provinsi
dan DPRD kabupaten/kota.
Pasal 203
(1) Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang
batas perolehan suara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 202 ayat (1), tidak disertakan pada penghitungan
perolehan kursi DPR di masing-masing daerah pemilihan.
(2) Suara . . .
- 96 -
(2) Suara untuk penghitungan perolehan kursi DPR di suatu
daerah pemilihan ialah jumlah suara sah seluruh Partai
Politik Peserta Pemilu dikurangi jumlah suara sah Partai
Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas
perolehan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202
ayat (1).
(3) Dari hasil penghitungan suara sah yang diperoleh partai
politik peserta pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
di suatu daerah pemilihan ditetapkan angka BPP DPR
dengan cara membagi jumlah suara sah Partai Politik
Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dengan jumlah kursi di satu daerah pemilihan.
BAB XIII
PENETAPAN PEROLEHAN KURSI DAN CALON TERPILIH
Bagian Kesatu
Penetapan Perolehan Kursi
Pasal 204
(1) Perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu untuk
anggota DPR ditetapkan oleh KPU.
(2) Perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu untuk
anggota DPRD provinsi ditetapkan oleh KPU provinsi.
(3) Perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu untuk
anggota DPRD kabupaten/kota ditetapkan oleh KPU
kabupaten/kota.
Pasal 205
(1) Penentuan perolehan jumlah kursi anggota DPR Partai
Politik Peserta Pemilu didasarkan atas hasil penghitungan
seluruh suara sah dari setiap Partai Politik Peserta Pemilu
yang memenuhi ketentuan Pasal 202 di daerah pemilihan
yang bersangkutan.
(2) Dari hasil penghitungan seluruh suara sah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan angka BPP DPR.
(3) Setelah ditetapkan angka BPP DPR dilakukan
penghitungan perolehan kursi tahap pertama dengan
membagi jumlah suara sah yang diperoleh suatu Partai
Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan dengan
BPP DPR.
(4) Dalam . . .
- 97 -
(4) Dalam hal masih terdapat sisa kursi dilakukan
penghitungan perolehan kursi tahap kedua dengan cara
membagikan jumlah sisa kursi yang belum terbagi kepada
Partai Politik Peserta Pemilu yang memperoleh suara
sekurang-kurangnya 50% (lima puluh perseratus) dari
BPP DPR.
(5) Dalam hal masih terdapat sisa kursi setelah dilakukan
penghitungan tahap kedua, maka dilakukan
penghitungan perolehan kursi tahap ketiga dengan cara
seluruh sisa suara Partai Politik Peserta Pemilu
dikumpulkan di provinsi untuk menentukan BPP DPR
yang baru di provinsi yang bersangkutan.
(6) BPP DPR yang baru di provinsi yang bersangkutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan dengan
membagi jumlah sisa suara sah seluruh Partai Politik
Peserta Pemilu dengan jumlah sisa kursi.
(7) Penetapan perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dengan
cara memberikan kursi kepada partai politik yang
mencapai BPP DPR yang baru di provinsi yang
bersangkutan.
Pasal 206
Dalam hal masih terdapat sisa kursi yang belum terbagi
dengan BPP DPR yang baru sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 205, penetapan perolehan kursi Partai Politik Peserta
Pemilu dilakukan dengan cara membagikan sisa kursi kepada
Partai Politik Peserta Pemilu di provinsi satu demi satu
berturut-turut sampai semua sisa kursi habis terbagi
berdasarkan sisa suara terbanyak.
Pasal 207
Dalam hal masih terdapat sisa kursi yang belum terbagi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 206 dan sisa suara Partai
Politik Peserta Pemilu sudah terkonversi menjadi kursi, maka
kursi diberikan kepada partai politik yang memiliki akumulasi
perolehan suara terbanyak secara berturut-turut di provinsi
yang bersangkutan.
Pasal 208
Penetapan perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 205 ayat (7) dan Pasal 206
dialokasikan bagi daerah pemilihan yang masih memiliki sisa
kursi.
Pasal 209 . . .
- 98 -
Pasal 209
Dalam hal daerah pemilihan adalah provinsi maka
penghitungan sisa suara dilakukan habis di daerah pemilihan
tersebut.
Pasal 210
Ketentuan lebih lanjut penetapan perolehan kursi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 205, Pasal 206,
Pasal 207, Pasal 208, dan Pasal 209 diatur dalam peraturan
KPU.
Pasal 211
(1) Perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu untuk
anggota DPRD provinsi ditetapkan dengan cara membagi
jumlah perolehan suara sah yang telah ditetapkan oleh
KPU provinsi dengan angka BPP DPRD di daerah
pemilihan masing-masing.
(2) BPP DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan cara membagi jumlah perolehan suara
sah Partai Politik Peserta Pemilu untuk anggota DPRD
provinsi dengan jumlah kursi anggota DPRD provinsi di
daerah pemilihan masing-masing.
(3) Dalam hal masih terdapat sisa kursi setelah dialokasikan
berdasarkan BPP DPRD, maka perolehan kursi Partai
Politik Peserta Pemilu dilakukan dengan cara
membagikan sisa kursi berdasarkan sisa suara terbanyak
satu persatu sampai habis.
Pasal 212
(1) Perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu untuk
anggota DPRD kabupaten/kota ditetapkan dengan cara
membagi jumlah perolehan suara sah yang telah
ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota dengan angka BPP
DPRD di daerah pemilihan masing-masing.
(2) BPP DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan cara membagi jumlah perolehan suara
sah Partai Politik Peserta Pemilu untuk pemilihan anggota
DPRD kabupaten/kota dengan jumlah kursi anggota
DPRD kabupaten/kota di daerah pemilihan masingmasing.
(3) Dalam . . .
- 99 -
(3) Dalam hal masih terdapat sisa kursi setelah dialokasikan
berdasarkan BPP DPRD, maka perolehan kursi partai
politik peserta pemilu dilakukan dengan cara
membagikan sisa kursi berdasarkan sisa suara terbanyak
satu persatu sampai habis.
Bagian Kedua
Penetapan Calon Terpilih
Pasal 213
(1) Calon terpilih anggota DPR dan anggota DPD ditetapkan
oleh KPU.
(2) Calon terpilih anggota DPRD provinsi ditetapkan oleh KPU
provinsi.
(3) Calon terpilih anggota DPRD kabupaten/kota ditetapkan
oleh KPU kabupaten/kota.
Pasal 214
Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota dari Partai Politik Peserta Pemilu
didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu
di suatu daerah pemilihan, dengan ketentuan:
(1) pemilihan.
a. calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan calon yang
memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh
perseratus) dari BPP;
b. dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a
jumlahnya lebih banyak daripada jumlah kursi yang
diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi
diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih
kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurangkurangnya
30% (tiga puluh perseratus) dari BPP;
c. dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi
ketentuan huruf a dengan perolehan suara yang sama,
maka penentuan calon terpilih diberikan kepada calon yang
memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang
memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh
perseratus) dari BPP, kecuali bagi calon yang memperoleh
suara 100% (seratus perseratus) dari BPP;
d. dalam . . .
- 100 -
d. dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a
jumlahnya kurang dari jumlah kursi yang diperoleh partai
politik peserta pemilu, maka kursi yang belum terbagi
diberikan kepada calon berdasarkan nomor urut;
e. dalam hal tidak ada calon yang memperoleh suara
sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP,
maka calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut.
Pasal 215
(1) Penetapan calon terpilih anggota DPD didasarkan pada
nama calon yang memperoleh suara terbanyak pertama,
kedua, ketiga, dan keempat di provinsi yang
bersangkutan.
(2) Dalam hal perolehan suara calon terpilih keempat
terdapat jumlah suara yang sama, calon yang
memperoleh dukungan pemilih yang lebih merata
penyebarannya di seluruh kabupaten/kota di provinsi
tersebut ditetapkan sebagai calon terpilih.
(3) KPU menetapkan calon pengganti antar waktu anggota
DPD dari nama calon yang memperoleh suara terbanyak
kelima, keenam, ketujuh, dan kedelapan di provinsi yang
bersangkutan.
BAB XIV
PEMBERITAHUAN CALON TERPILIH
Pasal 216
(1) Pemberitahuan calon terpilih anggota DPR, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan setelah
ditetapkan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU
kabupaten/kota.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan secara tertulis kepada pengurus Partai
Politik Peserta Pemilu sesuai dengan tingkatannya dengan
tembusan kepada calon terpilih yang bersangkutan.
Pasal 217
(1) Pemberitahuan calon terpilih anggota DPD dilakukan
setelah ditetapkan oleh KPU.
(2) Pemberitahuan . . .
- 101 -
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan secara tertulis kepada calon terpilih anggota
DPD yang memperoleh suara terbanyak pertama, kedua,
ketiga, dan keempat dengan tembusan kepada gubernur
dan KPU provinsi yang bersangkutan.
BAB XV
PENGGANTIAN CALON TERPILIH
Pasal 218
(1) Penggantian calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan apabila
calon terpilih yang bersangkutan:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri;
c. tidak lagi memenuhi syarat untuk menjadi anggota
DPR, DPD, DPRD provinsi, atau DPRD
kabupaten/kota; atau
d. terbukti melakukan tindak pidana Pemilu berupa
politik uang atau pemalsuan dokumen berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap.
(2) Dalam hal calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, atau
huruf d telah ditetapkan dengan keputusan KPU, KPU
provinsi atau KPU kabupaten/kota, keputusan penetapan
yang bersangkutan batal demi hukum.
(3) Calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diganti dengan calon dari daftar calon tetap Partai Politik
Peserta Pemilu pada daerah pemilihan yang sama
berdasarkan surat keputusan pimpinan partai politik
yang bersangkutan.
nyesuaikan hasi
(4) Calon terpilih anggota DPD sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diganti dengan calon yang memperoleh suara
terbanyak berikutnya.
(5) KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota
menetapkan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota sebagai calon terpilih
pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan
keputusan KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota.
BAB XVI . . .
- 102 -
BAB XVI
PEMUNGUTAN SUARA ULANG, PENGHITUNGAN SUARA ULANG, DAN
REKAPITULASI SUARA ULANG
Bagian Kesatu
Pemungutan Suara Ulang
Pasal 219
(1) Pemungutan suara di TPS dapat diulang apabila terjadi
bencana alam dan/atau kerusuhan yang mengakibatkan
hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan atau
penghitungan suara tidak dapat dilakukan.
(2) Pemungutan suara di TPS wajib diulang apabila dari hasil
penelitian dan pemeriksaan Pengawas Pemilu Lapangan
terbukti terdapat keadaan sebagai berikut:
a. pembukaan kotak suara dan/atau berkas
pemungutan dan penghitungan suara tidak dilakukan
menurut tata cara yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan;
b. petugas KPPS meminta pemilih memberikan tanda
khusus, menandatangani, atau menuliskan nama
atau alamatnya pada surat suara yang sudah
digunakan; dan/atau
c. petugas KPPS merusak lebih dari satu surat suara
yang sudah digunakan oleh pemilih sehingga surat
suara tersebut menjadi tidak sah.
Pasal 220
(1) Pemungutan suara ulang diusulkan oleh KPPS dengan
menyebutkan keadaan yang menyebabkan diadakannya
pemungutan suara ulang.
(2) Usul KPPS diteruskan kepada PPK untuk selanjutnya
diajukan kepada KPU kabupaten/kota untuk
pengambilan keputusan diadakannya pemungutan suara
ulang.
(3) Pemungutan suara ulang di TPS dilaksanakan paling
lama 10 (sepuluh) hari setelah hari/tanggal pemungutan
suara berdasarkan keputusan PPK.
Bagian Kedua . . .
- 103 -
Bagian Kedua
Penghitungan Suara Ulang
dan Rekapitulasi Suara Ulang
Pasal 221
(1) Penghitungan suara ulang berupa penghitungan ulang
surat suara di TPS, penghitungan suara ulang di PPK,
dan rekapitulasi suara ulang di PPK, di KPU
kabupaten/kota, dan di KPU provinsi.
(2) Penghitungan suara di TPS dapat diulang apabila terjadi
hal sebagai berikut:
a. kerusuhan yang mengakibatkan penghitungan suara
tidak dapat dilanjutkan;
b. penghitungan suara dilakukan secara tertutup;
c. penghitungan suara dilakukan di tempat yang kurang
terang atau yang kurang mendapat penerangan
cahaya;
d. penghitungan suara dilakukan dengan suara yang
kurang jelas;
e. penghitungan suara dicatat dengan tulisan yang
kurang jelas;
f. saksi Peserta Pemilu, Pengawas Pemilu Lapangan, dan
warga masyarakat tidak dapat menyaksikan proses
penghitungan suara secara jelas;
g. penghitungan suara dilakukan di tempat lain di luar
tempat dan waktu yang telah ditentukan; dan/atau
h. terjadi ketidakkonsistenan dalam menentukan surat
suara yang sah dan surat suara yang tidak sah.
Pasal 222
(1) Dalam hal terjadi keadaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 221 ayat (2), saksi Peserta Pemilu atau Pengawas
Pemilu Lapangan dapat mengusulkan penghitungan
ulang surat suara di TPS yang bersangkutan.
(2) Penghitungan ulang surat suara di TPS harus
dilaksanakan dan selesai pada hari/tanggal yang sama
dengan hari/tanggal pemungutan suara.
Pasal 223 . . .
- 104 -
Pasal 223
Rekapitulasi hasil penghitungan suara di PPK, KPU
kabupaten/kota, dan KPU provinsi dapat diulang apabila
terjadi keadaan sebagai berikut:
a. kerusuhan yang mengakibatkan rekapitulasi hasil
penghitungan suara tidak dapat dilanjutkan;
b. rekapitulasi hasil penghitungan suara dilakukan secara
tertutup;
c. rekapitulasi hasil penghitungan suara dilakukan di tempat
yang kurang terang atau kurang mendapatkan penerangan
cahaya;
d. rekapitulasi hasil penghitungan suara dilakukan dengan
suara yang kurang jelas;
e. rekapitulasi hasil penghitungan suara dicatat dengan
tulisan yang kurang jelas;
f. saksi Peserta Pemilu, Pengawas Pemilu Lapangan,
pemantau Pemilu, dan warga masyarakat tidak dapat
menyaksikan proses rekapitulasi hasil penghitungan suara
secara jelas; dan/atau
g. rekapitulasi hasil penghitungan suara dilakukan di tempat
lain di luar tempat dan waktu yang telah ditentukan.
Pasal 224
(1) Dalam hal terjadi keadaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 223, saksi Peserta Pemilu atau Panwaslu
kecamatan, Panwaslu kabupaten/kota, dan Panwaslu
provinsi dapat mengusulkan untuk dilaksanakan
rekapitulasi hasil penghitungan suara di PPK, KPU
kabupaten/kota, dan KPU provinsi yang bersangkutan.
(2) Rekapitulasi hasil penghitungan suara di PPK, KPU
kabupaten/kota, dan KPU provinsi harus dilaksanakan
dan selesai pada hari/tanggal pelaksanaan rekapitulasi.
Pasal 225
(1) Dalam hal terdapat perbedaan jumlah suara pada
sertifikat hasil penghitungan suara dari TPS dengan
sertifikat hasil penghitungan suara yang diterima PPK
melalui PPS, saksi Peserta Pemilu tingkat kecamatan dan
saksi Peserta Pemilu di TPS, Panwaslu kecamatan, atau
Pengawas Pemilu Lapangan, maka PPK melakukan
penghitungan suara ulang untuk TPS yang bersangkutan.
(2) Penghitungan . . .
- 105 -
(2) Penghitungan suara ulang di TPS dan rekapitulasi hasil
penghitungan suara ulang di PPK sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 221 ayat (2) dan Pasal 223 dilaksanakan
paling lama 5 (lima) hari setelah hari/tanggal
pemungutan suara berdasarkan keputusan PPK.
Pasal 226
Penghitungan suara ulang untuk TPS sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 225 ayat (1) dilakukan dengan cara membuka
kotak suara hanya dilakukan di PPK.
Pasal 227
(1) Dalam hal terjadi perbedaan jumlah suara pada sertifikat
rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dari PPK
dengan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan
perolehan suara yang diterima oleh KPU kabupaten/kota,
saksi Peserta Pemilu tingkat kabupaten/kota dan saksi
Peserta Pemilu tingkat kecamatan, Panwaslu
kabupaten/kota, atau Panwaslu kecamatan, maka KPU
kabupaten/kota melakukan pembetulan data melalui
pengecekan dan/atau rekapitulasi ulang data yang
termuat pada sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan
perolehan suara untuk PPK yang bersangkutan.
(2) Dalam hal terjadi perbedaan data jumlah suara pada
sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPU
kabupaten/kota dengan sertifikat rekapitulasi hasil
penghitungan suara yang diterima oleh KPU provinsi,
saksi Peserta Pemilu tingkat provinsi dan saksi Peserta
Pemilu tingkat kabupaten/kota, panitia pengawas Pemilu
provinsi, atau panitia pengawas Pemilu kabupaten/kota,
maka KPU provinsi melakukan pembetulan data melalui
pengecekan dan/atau rekapitulasi ulang data yang
termuat pada sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan
perolehan suara untuk KPU kabupaten/kota yang
bersangkutan.
(3) Dalam hal terjadi perbedaan data jumlah suara pada
sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPU
provinsi dengan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan
suara yang diterima oleh KPU, saksi Peserta Pemilu
tingkat pusat dan saksi Peserta Pemilu tingkat provinsi,
Badan Pengawas Pemilu, atau panitia pengawas Pemilu
provinsi, maka KPU melakukan pembetulan data melalui
pengecekan dan/atau rekapitulasi ulang data yang
termuat pada sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan
perolehan suara untuk KPU provinsi yang bersangkutan.
BAB XVII . . .
- 106 -
BAB XVII
PEMILU LANJUTAN DAN PEMILU SUSULAN
Pasal 228
(1) Dalam hal di sebagian atau seluruh daerah pemilihan
terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam
atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian
tahapan penyelenggaraan Pemilu tidak dapat
dilaksanakan, dilakukan Pemilu lanjutan.
(2) Pelaksanaan Pemilu lanjutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dimulai dari tahap penyelenggaraan Pemilu
yang terhenti.
Pasal 229
(1) Dalam hal di suatu daerah pemilihan terjadi kerusuhan,
gangguan keamanan, bencana alam atau gangguan
lainnya yang mengakibatkan seluruh tahapan
penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan,
dilakukan Pemilu susulan.
(2) Pelaksanaan Pemilu susulan dilakukan untuk seluruh
tahapan penyelengaraan Pemilu.
Pasal 230
(1) Pemilu lanjutan dan Pemilu susulan dilaksanakan setelah
ada penetapan penundaan pelaksanaan Pemilu.
(2) Penetapan penundaan pelaksanaan Pemilu dilakukan
oleh:
a. KPU kabupaten/kota atas usul PPK apabila
penundaan pelaksanaan Pemilu meliputi satu atau
beberapa desa/kelurahan;
b. KPU kabupaten/kota atas usul PPK apabila
penundaan pelaksanaan Pemilu meliputi satu atau
beberapa kecamatan;
c. KPU provinsi atas usul KPU kabupaten/kota apabila
penundaan pelaksanaan Pemilu meliputi satu atau
beberapa kabupaten/kota;
d. KPU atas usul KPU provinsi apabila penundaan
pelaksanaan Pemilu meliputi satu atau beberapa
provinsi.
(3) Dalam . . .
- 107 -
(3) Dalam hal Pemilu tidak dapat dilaksanakan di
40% (empat puluh perseratus) jumlah provinsi atau
50% (lima puluh perseratus) dari jumlah pemilih terdaftar
secara nasional tidak dapat menggunakan haknya untuk
memilih, penetapan Pemilu lanjutan atau Pemilu susulan
dilakukan oleh Presiden atas usul KPU.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan waktu
pelaksanaan Pemilu lanjutan atau Pemilu susulan diatur
dalam peraturan KPU.
BAB XVIII
PEMANTAUAN PEMILU
Bagian Kesatu
Pemantau Pemilu
Pasal 231
(1) Pelaksanaan Pemilu dapat dipantau oleh pemantau
Pemilu.
(2) Pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. lembaga swadaya masyarakat pemantau Pemilu dalam
negeri;
b. badan hukum dalam negeri;
c. lembaga pemantau pemilihan dari luar negeri;
d. lembaga pemilihan luar negeri; dan
e. perwakilan negara sahabat di Indonesia.
Bagian Kedua
Persyaratan dan Tata Cara Menjadi Pemantau Pemilu
Pasal 232
(1) Pemantau Pemilu harus memenuhi persyaratan:
a. bersifat independen;
b. mempunyai sumber dana yang jelas; dan
c. terdaftar dan memperoleh akreditasi dari KPU, KPU
provinsi, atau KPU kabupaten/kota sesuai dengan
cakupan wilayah pemantauannya.
(2) Selain . . .
- 108 -
(2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), pemantau dari luar negeri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 231 ayat (2) huruf c, huruf d, dan
huruf e harus memenuhi persyaratan khusus:
a. mempunyai kompetensi dan pengalaman sebagai
pemantau Pemilu di negara lain, yang dibuktikan
dengan surat pernyataan dari organisasi pemantau
yang bersangkutan atau dari pemerintah negara lain
tempat yang bersangkutan pernah melakukan
pemantauan;
b. memperoleh visa untuk menjadi pemantau Pemilu dari
Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri;
c. memenuhi tata cara melakukan pemantauan yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 233
(1) Pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 231 ayat (2) mengajukan permohonan untuk
melakukan pemantauan Pemilu dengan mengisi formulir
pendaftaran yang disediakan oleh KPU, KPU provinsi,
atau KPU kabupaten/kota.
(2) Pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengembalikan formulir pendaftaran kepada KPU, KPU
provinsi, atau KPU kabupaten/kota dengan menyerahkan
kelengkapan administrasi yang meliputi:
a. profil organisasi/lembaga;
b. nama dan jumlah anggota pemantau;
c. alokasi anggota pemantau yang akan ditempatkan ke
daerah;
d. rencana dan jadwal kegiatan pemantauan serta daerah
yang ingin dipantau; dan
e. nama, alamat, dan pekerjaan penanggung jawab
pemantau yang dilampiri pas foto diri terbaru.
(3) KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota meneliti
kelengkapan administrasi pemantau Pemilu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
(4) Pemantau Pemilu yang memenuhi persyaratan diberi
tanda terdaftar sebagai pemantau Pemilu serta
mendapatkan sertifikat akreditasi.
(5) Dalam . . .
- 109 -
(5) Dalam hal pemantau Pemilu tidak memenuhi
kelengkapan administrasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), pemantau Pemilu yang bersangkutan dilarang
melakukan pemantauan Pemilu.
(6) Khusus pemantau yang berasal dari perwakilan negara
sahabat di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 231 ayat (2) huruf e, yang bersangkutan harus
mendapatkan rekomendasi Menteri Luar Negeri.
(7) Tata cara akreditasi pemantau Pemilu diatur lebih lanjut
dalam peraturan KPU.
Bagian Ketiga
Wilayah Kerja Pemantau Pemilu
Pasal 234
(1) Pemantau Pemilu melakukan pemantauan pada satu
daerah pemantauan sesuai dengan rencana pemantauan
yang telah diajukan kepada KPU, KPU provinsi, atau KPU
kabupaten/kota.
(2) Pemantau Pemilu yang melakukan pemantauan pada
lebih dari satu provinsi harus mendapatkan persetujuan
KPU dan wajib melapor ke KPU provinsi masing-masing.
(3) Pemantau Pemilu yang melakukan pemantauan pada
lebih dari satu kabupaten/kota pada satu provinsi harus
mendapatkan persetujuan KPU provinsi dan wajib
melapor ke KPU kabupaten/kota masing-masing.
(4) Persetujuan atas wilayah kerja pemantau luar negeri
dikeluarkan oleh KPU.
Bagian Keempat
Tanda Pengenal Pemantau Pemilu
Pasal 235
(1) Tanda pengenal pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 231 ayat (2) huruf a dan huruf b dikeluarkan
oleh KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota sesuai
dengan wilayah kerja yang bersangkutan.
(2) Tanda pengenal pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 231 ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e
dikeluarkan oleh KPU.
(3) Tanda . . .
- 110 -
(3) Tanda pengenal sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
terdiri atas:
a. tanda pengenal pemantau asing biasa; dan
b. tanda pengenal pemantau asing diplomat.
(4) Pada tanda pengenal pemantau Pemilu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dimuat informasi
tentang:
a. nama dan alamat pemantau Pemilu yang memberi
tugas;
b. nama anggota pemantau yang bersangkutan;
c. pas foto diri terbaru anggota pemantau yang
bersangkutan;
d. wilayah kerja pemantauan; dan
e. nomor dan tanggal akreditasi.
(5) Tanda pengenal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
digunakan dalam setiap kegiatan pemantauan Pemilu.
(6) Bentuk dan format tanda pengenal pemantau Pemilu
diatur dalam peraturan KPU.
Bagian Kelima
Hak dan Kewajiban Pemantau Pemilu
Pasal 236
(1) Pemantau Pemilu mempunyai hak:
a. mendapat perlindungan hukum dan keamanan dari
Pemerintah Indonesia;
b. mengamati dan mengumpulkan informasi proses
penyelenggaraan Pemilu;
c. memantau proses pemungutan dan penghitungan
suara dari luar TPS;
d. mendapatkan akses informasi yang tersedia dari KPU,
KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota; dan
e. menggunakan perlengkapan untuk
mendokumentasikan kegiatan pemantauan sepanjang
berkaitan dengan pelaksanaan Pemilu.
(2) Pemantau asing yang berasal dari perwakilan negara
asing yang berstatus diplomat berhak atas kekebalan
diplomatik selama menjalankan tugas sebagai pemantau
Pemilu.
Pasal 237 . . .
- 111 -
Pasal 237
Pemantau Pemilu mempunyai kewajiban:
a. mematuhi peraturan perundang-undangan dan
menghormati kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
b. mematuhi kode etik pemantau Pemilu yang diterbitkan oleh
KPU;
c. melaporkan diri, mengurus proses akreditasi dan tanda
pengenal ke KPU, KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota
sesuai dengan wilayah kerja pemantauan;
d. menggunakan tanda pengenal selama menjalankan
pemantauan;
e. menanggung semua biaya pelaksanaan kegiatan
pemantauan;
f. melaporkan jumlah dan keberadaan personel pemantau
Pemilu serta tenaga pendukung administratif kepada KPU,
KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota sesuai dengan
wilayah pemantauan;
g. menghormati kedudukan, tugas, dan wewenang
penyelenggara Pemilu;
h. menghormati adat istiadat dan budaya setempat;
i. bersikap netral dan objektif dalam melaksanakan
pemantauan;
j. menjamin akurasi data dan informasi hasil pemantauan
yang dilakukan dengan mengklarifikasikan kepada KPU,
KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota; dan
k. melaporkan hasil akhir pemantauan pelaksanaan Pemilu
kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.
Bagian Keenam
Larangan bagi Pemantau Pemilu
Pasal 238
Pemantau Pemilu dilarang:
a. melakukan kegiatan yang mengganggu proses pelaksanaan
Pemilu;
b. memengaruhi pemilih dalam menggunakan haknya untuk
memilih;
c. mencampuri . . .
- 112 -
c. mencampuri pelaksanaan tugas dan wewenang
penyelenggara Pemilu;
d. memihak kepada Peserta Pemilu tertentu;
e. menggunakan seragam, warna, atau atribut lain yang
memberikan kesan mendukung Peserta Pemilu;
f. menerima atau memberikan hadiah, imbalan, atau fasilitas
apa pun dari atau kepada Peserta Pemilu;
g. mencampuri dengan cara apa pun urusan politik dan
pemerintahan dalam negeri Indonesia;
h. membawa senjata, bahan peledak dan/atau bahan
berbahaya lainnya selama melakukan tugas pemantauan;
i. masuk ke dalam TPS; dan/atau
j. melakukan kegiatan lain yang tidak sesuai dengan tujuan
sebagai pemantau Pemilu.
Bagian Ketujuh
Sanksi bagi Pemantau Pemilu
Pasal 239
Pemantau Pemilu yang melanggar kewajiban dan larangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 237 dan Pasal 238
dicabut status dan haknya sebagai pemantau Pemilu.
Pasal 240
(1) Pelanggaran oleh pemantau Pemilu atas kewajiban dan
larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 237 dan
Pasal 238 dilaporkan kepada KPU kabupaten/kota untuk
ditindaklanjuti.
(2) Dalam hal pelanggaran atas kewajiban dan larangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 237 dan Pasal 238
dilakukan oleh pemantau dalam negeri dan terbukti
kebenarannya, maka KPU, KPU provinsi, atau KPU
kabupaten/kota mencabut status dan haknya sebagai
pemantau Pemilu.
(3) Dalam hal pelanggaran atas kewajiban dan larangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 237 dan Pasal 238
dilakukan oleh pemantau asing dan terbukti
kebenarannya, maka KPU mencabut status dan haknya
sebagai pemantau Pemilu.
(4) Pelanggaran . . .
- 113 -
(4) Pelanggaran atas kewajiban dan larangan yang bersifat
tindak pidana dan/atau perdata yang dilakukan oleh
pemantau Pemilu, pemantau Pemilu yang bersangkutan
dikenai sanksi sesuai peraturan perundang-undangan.
Pasal 241
Menteri yang membidangi urusan hukum dan hak asasi
manusia menindaklanjuti penetapan pencabutan status dan
hak pemantau asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240
ayat (3) setelah berkoordinasi dengan Menteri Luar Negeri
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedelapan
Pelaksanaan Pemantauan
Pasal 242
Sebelum melaksanakan pemantauan, pemantau Pemilu
melapor kepada KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia di daerah.
Pasal 243
Petunjuk teknis pelaksanaan pemantauan diatur dalam
peraturan KPU dengan memperhatikan pertimbangan dari
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
BAB XIX
PARTISIPASI MASYARAKAT
DALAM PENYELENGGARAAN PEMILU
Pasal 244
(1) Pemilu diselenggarakan dengan partisipasi masyarakat.
(2) Partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk sosialisasi Pemilu,
pendidikan politik bagi pemilih, survei atau jajak
pendapat tentang Pemilu, dan penghitungan cepat hasil
Pemilu, dengan ketentuan:
a. tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan
atau merugikan salah satu Peserta Pemilu.
b. tidak mengganggu proses penyelenggaraan tahapan
Pemilu.
c. bertujuan meningkatkan partisipasi politik masyarakat
secara luas.
d. mendorong . . .
- 114 -
d. mendorong terwujudnya suasana yang kondusif bagi
penyelenggaraan Pemilu yang aman, damai, tertib, dan
lancar.
Pasal 245
(1) Partisipasi masyarakat dalam bentuk sosialisasi Pemilu,
pendidikan politik bagi pemilih, survei atau jajak
pendapat tentang Pemilu, dan penghitungan cepat hasil
Pemilu wajib mengikuti ketentuan yang diatur oleh KPU.
(2) Pengumuman hasil survei atau jajak pendapat tidak boleh
dilakukan pada masa tenang.
(3) Pengumuman hasil penghitungan cepat hanya boleh
dilakukan paling cepat pada hari berikutnya dari
hari/tanggal pemungutan suara.
(4) Pelaksana kegiatan penghitungan cepat wajib
memberitahukan metodologi yang digunakannya dan
hasil penghitungan cepat yang dilakukannya bukan
merupakan hasil resmi penyelenggara Pemilu.
(5) Pelanggaran terhadap ketentuan ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4) merupakan tindak pidana Pemilu.
Pasal 246
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan partisipasi
masyarakat dalam penyelenggaraan Pemilu diatur dalam
peraturan KPU.
BAB XX
PENYELESAIAN PELANGGARAN PEMILU
DAN PERSELISIHAN HASIL PEMILU
Bagian Kesatu
Penyelesaian Pelanggaran Pemilu
Paragraf 1
Penanganan Laporan Pelanggaran Pemilu
Pasal 247
(1) Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota,
Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan
Pengawas Pemilu Luar Negeri menerima laporan
pelanggaran Pemilu pada setiap tahapan penyelenggaraan
Pemilu.
(2) Laporan . . .
- 115 -
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
disampaikan oleh:
a. Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak pilih;
b. pemantau Pemilu; atau
c. Peserta Pemilu.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan secara tertulis kepada Bawaslu, Panwaslu
provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu
kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas
Pemilu Luar Negeri dengan paling sedikit memuat:
a. nama dan alamat pelapor;
b. pihak terlapor;
c. waktu dan tempat kejadian perkara; dan
d. uraian kejadian.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan paling lama 3 (tiga) hari sejak terjadinya
pelanggaran Pemilu.
(5) Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota,
Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan
Pengawas Pemilu Luar Negeri mengkaji setiap laporan
pelanggaran yang diterima.
(6) Dalam hal laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terbukti kebenarannya, Bawaslu, Panwaslu provinsi,
Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan,
Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar
Negeri wajib menindaklanjuti laporan paling lama 3 (tiga)
hari setelah laporan diterima.
(7) Dalam hal Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu
kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu
Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri memerlukan
keterangan tambahan dari pelapor mengenai tindak
lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan
paling lama 5 (lima) hari setelah laporan diterima.
(8) Laporan pelanggaran administrasi Pemilu diteruskan
kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.
(9) Laporan pelanggaran pidana Pemilu diteruskan kepada
penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(10) Ketentuan . . .
- 116 -
(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan
pelanggaran Pemilu diatur dalam peraturan Bawaslu.
Paragraf 2
Pelanggaran Administrasi Pemilu
Pasal 248
Pelanggaran administrasi Pemilu adalah pelanggaran terhadap
ketentuan Undang-Undang ini yang bukan merupakan
ketentuan pidana Pemilu dan terhadap ketentuan lain yang
diatur dalam peraturan KPU.
Pasal 249
Pelanggaran administrasi Pemilu diselesaikan oleh KPU, KPU
provinsi, dan KPU kabupaten/kota berdasarkan laporan dari
Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota
sesuai dengan tingkatannya.
Pasal 250
KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota memeriksa dan
memutus pelanggaran administrasi Pemilu dalam waktu paling
lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya laporan dari Bawaslu,
Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota.
Pasal 251
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian
pelanggaran administrasi Pemilu diatur dalam peraturan KPU.
Paragraf 3
Pelanggaran Pidana Pemilu
Pasal 252
Pelanggaran pidana Pemilu adalah pelanggaran terhadap
ketentuan pidana Pemilu yang diatur dalam Undang-Undang
ini yang penyelesaiannya dilaksanakan melalui pengadilan
dalam lingkungan peradilan umum.
Pasal 253
(1) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia
menyampaikan hasil penyidikannya disertai berkas
perkara kepada penuntut umum paling lama 14 (empat
belas) hari sejak menerima laporan dari Bawaslu,
Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota.
(2) Dalam . . .
- 117 -
(2) Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap,
dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari penuntut umum
mengembalikan berkas perkara kepada penyidik
kepolisian disertai petunjuk tentang hal yang harus
dilakukan untuk dilengkapi.
(3) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam
waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak tanggal penerimaan
berkas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus sudah
menyampaikan kembali berkas perkara tersebut kepada
penuntut umum.
(4) Penuntut umum melimpahkan berkas perkara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pengadilan
negeri paling lama 5 (lima) hari sejak menerima berkas
perkara.
Pasal 254
(1) Pengadilan negeri dalam memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara pidana Pemilu menggunakan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kecuali
ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
(2) Sidang pemeriksaan perkara pidana Pemilu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh hakim khusus.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hakim khusus diatur
dengan peraturan Mahkamah Agung.
Pasal 255
(1) Pengadilan negeri memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara pidana Pemilu paling lama 7 (tujuh) hari setelah
pelimpahan berkas perkara.
(2) Dalam hal terhadap putusan pengadilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diajukan banding, permohonan
banding diajukan paling lama 3 (tiga) hari setelah
putusan dibacakan.
(3) Pengadilan negeri melimpahkan berkas perkara
permohonan banding kepada pengadilan tinggi paling
lama 3 (tiga) hari setelah permohonan banding diterima.
(4) Pengadilan tinggi memeriksa dan memutus perkara
banding sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama
7 (tujuh) hari setelah permohonan banding diterima.
(5) Putusan . . .
- 118 -
(5) Putusan pengadilan tinggi sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) merupakan putusan terakhir dan mengikat serta
tidak ada upaya hukum lain.
Pasal 256
(1) Putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 255 ayat (1) dan ayat (4) harus sudah disampaikan
kepada penuntut umum paling lambat 3 (tiga) hari setelah
putusan dibacakan.
(2) Putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 255 harus dilaksanakan paling lambat 3 (tiga) hari
setelah putusan diterima oleh jaksa.
Pasal 257
(1) Putusan pengadilan terhadap kasus pelanggaran pidana
Pemilu yang menurut Undang-Undang ini dapat
memengaruhi perolehan suara Peserta Pemilu harus
sudah selesai paling lama 5 (lima) hari sebelum KPU
menetapkan hasil Pemilu secara nasional.
(2) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota wajib
menindaklanjuti putusan pengadilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Salinan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus sudah diterima KPU, KPU provinsi, atau
KPU kabupaten/kota dan Peserta Pemilu pada hari
putusan pengadilan tersebut dibacakan.
Bagian Kedua
Perselisihan Hasil Pemilu
Pasal 258
(1) Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU
dan Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara
hasil Pemilu secara nasional.
(2) Perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu
secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah perselisihan penetapan perolehan suara yang
dapat memengaruhi perolehan kursi Peserta Pemilu.
Pasal 259 . . .
- 119 -
Pasal 259
(1) Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara
hasil Pemilu secara nasional, Peserta Pemilu dapat
mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil
penghitungan perolehan suara oleh KPU kepada
Mahkamah Konstitusi.
(2) Peserta Pemilu mengajukan permohonan kepada
Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling lama 3 X 24 (tiga kali dua puluh empat)
jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil
Pemilu secara nasional oleh KPU.
(3) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota wajib
menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi.
BAB XXI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 260
Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain
kehilangan hak pilihnya, dipidana penjara paling singkat
12 (dua belas) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat)
bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas
juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh
empat juta rupiah).
Pasal 261
Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan
yang tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain
tentang suatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar
pemilih, dipidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan
paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit
Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak
Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Pasal 262
Setiap orang yang dengan kekerasan atau dengan ancaman
kekerasan atau dengan menggunakan kekuasaan yang ada
padanya pada saat pendaftaran pemilih menghalang-halangi
seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilu
menurut Undang-Undang ini, dipidana penjara paling singkat
12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam)
bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas
juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh
enam juta rupiah).
Pasal 263 . . .
- 120 -
Pasal 263
Petugas PPS/PPLN yang dengan sengaja tidak memperbaiki
daftar pemilih sementara setelah mendapat masukan dari
masyarakat dan Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 ayat (6), Pasal 37 ayat (2), dan Pasal 43 ayat (5)
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan
dan paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling sedikit
Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak
Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).
Pasal 264
Setiap anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK,
PPS, dan PPLN yang tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu,
Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu
kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu
Luar Negeri dalam melakukan pemutakhiran data pemilih,
penyusunan dan pengumuman daftar pemilih sementara,
perbaikan dan pengumuman daftar pemilih sementara,
penetapan dan pengumuman daftar pemilih tetap, dan
rekapitulasi daftar pemilih tetap yang merugikan Warga Negara
Indonesia yang memiliki hak pilih sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 49 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam)
bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta
rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam
juta rupiah).
Pasal 265
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan
curang untuk menyesatkan seseorang atau dengan memaksa
atau dengan menjanjikan atau memberikan uang atau materi
lainnya untuk memperoleh dukungan bagi pencalonan anggota
DPD dalam Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13,
dipidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan
paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling
sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling
banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal 266 . . .
- 121 -
Pasal 266
Setiap orang yang dengan sengaja membuat surat atau
dokumen dengan maksud untuk memakai atau menyuruh
orang memakai, atau setiap orang yang dengan sengaja
menggunakan surat atau dokumen yang dipalsukan untuk
menjadi bakal calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD
kabupaten/kota atau calon Peserta Pemilu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 63 dan dalam Pasal 73, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam)
bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda
paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)
dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta
rupiah).
Pasal 267
Setiap anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota
yang tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu
provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota dalam melaksanakan
verifikasi partai politik calon Peserta Pemilu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3), dipidana penjara paling
singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam)
bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta
rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam
juta rupiah).
Pasal 268
Setiap anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota
yang tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu
provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota dalam pelaksanaan
verifikasi partai politik calon Peserta Pemilu dan verifikasi
kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPR, DPD,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 60 ayat (3) dan dalam Pasal 70 ayat (3),
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan
dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling
sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak
Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal 269 . . .
- 122 -
Pasal 269
Setiap orang dengan sengaja melakukan kampanye di luar
jadwal waktu yang telah ditetapkan oleh KPU, KPU provinsi,
dan KPU kabupaten/kota untuk masing-masing Peserta
Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82, dipidana
penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 12 (dua
belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta
rupiah) atau paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta
rupiah).
Pasal 270
Setiap orang dengan sengaja melanggar larangan pelaksanaan
kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 84 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e,
huruf f, huruf g, huruf h, atau huruf i dipidana penjara paling
singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat)
bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta
rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat
juta rupiah).
Pasal 271
Setiap pelaksana kampanye yang melanggar larangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (2), dikenai pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua
belas) bulan dan denda paling sedikit Rp30.000.000,00 (tiga
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp60.000.000,00 (enam
puluh juta rupiah).
Pasal 272
Setiap Ketua/Wakil Ketua/Ketua Muda/hakim Agung/hakim
Konstitusi, hakim-hakim pada semua badan peradilan,
Ketua/Wakil Ketua dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan,
Gubernur, Deputi Gubernur Senior, dan Deputi Gubernur
Bank Indonesia serta Pejabat badan usaha milik negara/
badan usaha milik daerah yang melanggar larangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (3) dikenai pidana
penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua
puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp25.000.000,00
(dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 273 . . .
- 123 -
Pasal 273
Setiap pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia
dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, kepala desa, dan
perangkat desa, dan anggota badan permusyaratan desa yang
melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 84 ayat (3) dan ayat (5) dikenai pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan
denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan
paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Pasal 274
Pelaksana kampanye yang dengan sengaja menjanjikan atau
memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada
peserta kampanye secara langsung ataupun tidak langsung
agar tidak menggunakan haknya untuk memilih, atau memilih
Peserta Pemilu tertentu, atau menggunakan haknya untuk
memilih dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak
sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama
24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit
Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak
Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
Pasal 275
Anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, Sekretaris
Jenderal KPU, pegawai Sekretariat Jenderal KPU, sekretaris
KPU provinsi, pegawai sekretariat KPU provinsi, sekretaris KPU
kabupaten/kota, dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota
yang terbukti melakukan tindak pidana Pemilu dalam
pelaksanaan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 123 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat)
bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta
rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat
juta rupiah).
Pasal 276
Setiap orang yang memberi atau menerima dana kampanye
melebihi batas yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 131 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 133 ayat (1) dan
ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat
6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan
dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).
Pasal 277 . . .
- 124 -
Pasal 277
Peserta Pemilu yang terbukti menerima sumbangan dan/atau
bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan
paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling
sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling
banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal 278
Setiap orang yang dengan sengaja mengacaukan, menghalangi,
atau mengganggu jalannya kampanye Pemilu dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama
24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit
Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak
Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
Pasal 279
(1) Pelaksana kampanye yang karena kelalaiannya
mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan
Pemilu di tingkat desa/kelurahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 107 dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan
dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah)
dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta
rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan karena kesengajaan, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling
lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling sedikit
Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak
Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).
Pasal 280
Setiap pelaksana, peserta, atau petugas kampanye yang
terbukti dengan sengaja atau lalai yang mengakibatkan
terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilu dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan
paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling
sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak
Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
Pasal 281 . . .
- 125 -
Pasal 281
Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan
tidak benar dalam laporan dana kampanye sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 134 dan Pasal 135 ayat (1) dan ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan
dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling
sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak
Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
Pasal 282
Setiap orang yang mengumumkan hasil survei atau hasil jajak
pendapat dalam masa tenang, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas)
bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta
rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta
rupiah).
Pasal 283
Ketua KPU yang dengan sengaja menetapkan jumlah surat
suara yang dicetak melebihi jumlah yang ditentukan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua
belas) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan
denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp240.000.000,00 (dua ratus
empat puluh juta rupiah).
Pasal 284
Setiap perusahaan pencetak surat suara yang dengan sengaja
mencetak surat suara melebihi jumlah yang ditetapkan oleh
KPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat)
bulan dan paling lama 48 (empat puluh delapan) bulan dan
denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah).
Pasal 285 . . .
- 126 -
Pasal 285
Setiap perusahaan pencetak surat suara yang tidak menjaga
kerahasiaan, keamanan, dan keutuhan surat suara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 ayat (1), dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat)
bulan dan paling lama 48 (empat puluh delapan) bulan dan
denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah).
Pasal 286
Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan
suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya
kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau
memilih Peserta Pemilu tertentu atau menggunakan hak
pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak
sah, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua
belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan
denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan
paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal 287
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan
atau ancaman kekerasan dan/atau menghalangi seseorang
yang akan melakukan haknya untuk memilih atau melakukan
kegiatan yang menimbulkan gangguan ketertiban dan
ketenteraman pelaksanaan pemungutan suara dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan
paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling
sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak
Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
Pasal 288
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang
menyebabkan suara seorang pemilih menjadi tidak bernilai
atau menyebabkan Peserta Pemilu tertentu mendapat
tambahan suara atau perolehan suara Peserta Pemilu menjadi
berkurang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat
12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam)
bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000, 00 (dua belas
juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh
enam juta rupiah).
Pasal 289 . . .
- 127 -
Pasal 289
Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan
suara mengaku dirinya sebagai orang lain, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama
18 (delapan belas) bulan dan denda paling sedikit
Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak
Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).
Pasal 290
Setiap orang yang pada waktu pemungutan suara dengan
sengaja memberikan suaranya lebih dari satu kali di satu atau
lebih TPS, dipidana dengan pidana penjara paling singkat
6 (enam) bulan dan paling lama 18 (delapan belas) bulan dan
denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan
paling banyak Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).
Pasal 291
Setiap orang yang dengan sengaja menggagalkan pemungutan
suara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua
puluh empat) bulan dan paling lama 60 (enam puluh) bulan
dan denda paling sedikit Rp24.000.000,00 (dua puluh empat
juta rupiah) dan paling banyak Rp60.000.000,00 (enam puluh
juta rupiah).
Pasal 292
Seorang majikan/atasan yang tidak memberikan kesempatan
kepada seorang pekerja untuk memberikan suaranya pada
pemungutan suara, kecuali dengan alasan bahwa pekerjaan
tersebut tidak bisa ditinggalkan, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua
belas) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam
juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas
juta rupiah).
Pasal 293
Setiap orang yang dengan sengaja merusak atau
menghilangkan hasil pemungutan suara yang sudah disegel,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas)
bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda
paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan
paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal 294 . . .
- 128 -
Pasal 294
Ketua dan anggota KPPS/KPPSLN yang dengan sengaja tidak
memberikan surat suara pengganti hanya satu kali kepada
pemilih yang menerima surat suara yang rusak dan tidak
mencatat surat suara yang rusak dalam berita acara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (2), dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling
lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit
Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak
Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Pasal 295
Setiap orang yang bertugas membantu pemilih yang dengan
sengaja memberitahukan pilihan pemilih kepada orang lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (2), dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling
lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit
Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak
Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Pasal 296
(1) Dalam hal KPU kabupaten/kota tidak menetapkan
pemungutan suara ulang di TPS sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 220 ayat (2) sementara persyaratan dalam
Undang-Undang ini telah terpenuhi, anggota KPU
kabupaten/kota dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh
empat) bulan dan denda paling sedikit
Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak
Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
(2) Ketua dan anggota KPPS yang dengan sengaja tidak
melaksanakan ketetapan KPU kabupaten/kota untuk
melaksanakan pemungutan suara ulang di TPS dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan
paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit
Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak
Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Pasal 297 . . .
- 129 -
Pasal 297
Setiap orang yang karena kelalaiannya menyebabkan rusak
atau hilangnya berita acara pemungutan dan penghitungan
suara dan sertifikat hasil penghitungan suara yang sudah
disegel, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua
belas) bulan dan paling lama 60 (enam puluh) bulan dan
denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 298
Setiap orang yang dengan sengaja mengubah berita acara hasil
penghitungan suara dan/atau sertifikat hasil penghitungan
suara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua
belas) bulan dan paling lama 60 (enam puluh) bulan dan
denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 299
(1) Anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan
PPK yang karena kelalaiannya mengakibatkan hilang atau
berubahnya berita acara hasil rekapitulasi penghitungan
perolehan suara dan/atau sertifikat penghitungan suara,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam)
bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda
paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan
paling banyak Rp12.000.000,00 (duabelas juta rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan karena kesengajaan, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan
paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling
sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan
paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta
rupiah).
Pasal 300
Setiap orang yang dengan sengaja merusak, mengganggu, atau
mendistorsi sistem informasi penghitungan suara hasil Pemilu,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 60 (enam
puluh) bulan dan paling lama 120 (seratus dua puluh) bulan
dan denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
Pasal 301 . . .
- 130 -
Pasal 301
Ketua dan anggota KPPS/KPPSLN yang dengan sengaja tidak
membuat dan menandatangani berita acara perolehan suara
Peserta Pemilu dan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (3) dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan
paling lama 36 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit
Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak
Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Pasal 302
Setiap KPPS/KPPSLN yang dengan sengaja tidak memberikan
salinan satu eksemplar berita acara pemungutan dan
penghitungan suara, dan sertifikat hasil penghitungan suara
kepada saksi Peserta Pemilu, Pengawas Pemilu Lapangan, PPS,
dan PPK melalui PPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180
ayat (2) dan ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan
denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan
paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Pasal 303
Setiap KPPS/KPPSLN yang tidak menjaga, mengamankan
keutuhan kotak suara, dan menyerahkan kotak suara tersegel
yang berisi surat suara, berita acara pemungutan suara, dan
sertifikat hasil penghitungan suara, kepada PPK melalui PPS
atau kepada PPLN bagi KPPSLN pada hari yang sama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180 ayat (4) dan ayat (5),
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan
dan paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling
sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak
Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).
Pasal 304
Setiap Pengawas Pemilu Lapangan yang tidak mengawasi
penyerahan kotak suara tersegel kepada PPK dan Panwaslu
kecamatan yang tidak mengawasi penyerahan kotak suara
tersegel kepada KPU kabupaten/kota sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 180 ayat (6), dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh
empat) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam
juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh
empat juta rupiah).
Pasal 305 . . .
- 131 -
Pasal 305
Setiap PPS yang tidak mengumumkan hasil penghitungan
suara dari seluruh TPS di wilayah kerjanya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 181, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas)
bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta
rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta
rupiah).
Pasal 306
Dalam hal KPU tidak menetapkan perolehan hasil Pemilu
anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
secara nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 199
ayat (2), anggota KPU dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan paling lama 60 (enam
puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp240.000.000,00 (dua
ratus empat puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 307
Setiap orang atau lembaga yang melakukan penghitungan
cepat dan mengumumkan hasil penghitungan cepat pada
hari/tanggal pemungutan suara, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama
18 (delapan belas) bulan dan denda paling sedikit
Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak
Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).
Pasal 308
Setiap orang atau lembaga yang melakukan penghitungan
cepat yang tidak memberitahukan bahwa hasil penghitungan
cepat bukan merupakan hasil resmi Pemilu, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama
18 (delapan belas) bulan dan denda paling sedikit
Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak
Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).
Pasal 309 . . .
- 132 -
Pasal 309
Ketua dan anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU
kabupaten/kota yang tidak melaksanakan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 257 ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 24
(dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit
Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak
Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
Pasal 310
Ketua dan anggota Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu
kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, dan/atau Pengawas
Pemilu Lapangan/Pengawas Pemilu Luar Negeri yang dengan
sengaja tidak menindaklanjuti temuan dan/atau laporan
pelanggaran Pemilu yang dilakukan oleh anggota KPU, KPU
provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, PPS/PPLN, dan/atau
KPPS/KPPSLN dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan
dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling
sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak
Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal 311
Dalam hal penyelenggara Pemilu melakukan pelanggaran
pidana Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 260,
Pasal 261, Pasal 262, Pasal 265, Pasal 266, Pasal 269,
Pasal 270, Pasal 276, Pasal 278, Pasal 281, Pasal 286,
Pasal 287, Pasal 288, Pasal 289, Pasal 290, Pasal 291,
Pasal 293, Pasal 295, Pasal 297, Pasal 298, dan Pasal 300,
maka pidana bagi yang bersangkutan ditambah 1/3 (satu
pertiga) dari ketentuan pidana yang ditetapkan dalam pasalpasal
tersebut.
BAB XXII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 312
Ketentuan mengenai keikutsertaan partai politik lokal di Aceh
dalam Pemilu anggota DPRD provinsi dan DPRD
kabupaten/kota sepanjang tidak diatur khusus dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh, berlaku ketentuan Undang-Undang ini.
Pasal 313 . . .
- 133 -
Pasal 313
Hasil perolehan suara dari pemilih di luar negeri dimasukkan
sebagai perolehan suara untuk daerah pemilihan Provinsi DKI
Jakarta II.
Pasal 314
(1) Dalam hal terdapat daerah pemilihan anggota DPRD
provinsi yang sama dengan daerah pemilihan anggota
DPR pada Pemilu 2004, maka daerah pemilihan DPRD
provinsi tersebut disesuaikan dengan perubahan daerah
pemilihan anggota DPR.
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang penyesuaian perubahan
daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan peraturan KPU.
BAB XXIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 315
Partai Politik Peserta Pemilu tahun 2004 yang memperoleh
sekurang-kurangnya 3% (tiga perseratus) jumlah kursi DPR
atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat perseratus)
jumlah kursi DPRD provinsi yang tersebar sekurangkurangnya
di 1/2 (setengah) jumlah provinsi seluruh
Indonesia, atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat
perseratus) jumlah kursi DPRD kabupaten/kota yang tersebar
sekurang-kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/kota
seluruh Indonesia, ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta
Pemilu setelah Pemilu tahun 2004.
Pasal 316
Partai Politik Peserta Pemilu tahun 2004 yang tidak memenuhi
ketentuan Pasal 315 dapat mengikuti Pemilu tahun 2009
dengan ketentuan:
a. bergabung dengan Partai Politik Peserta Pemilu yang
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 315; atau
b. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315 dan
selanjutnya menggunakan nama dan tanda gambar salah
satu partai politik yang bergabung sehingga memenuhi
perolehan minimal jumlah kursi; atau
c. bergabung . . .
- 134 -
c. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315 dengan
membentuk partai politik baru dengan nama dan tanda
gambar baru sehingga memenuhi perolehan minimal
jumlah kursi; atau
d. memiliki kursi di DPR RI hasil Pemilu 2004; atau
e. memenuhi persyaratan verifikasi oleh KPU untuk menjadi
Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana ditentukan
dalam Undang-Undang ini.
Pasal 317
Untuk Pemilu tahun 2009 KPU melakukan penataan ulang
daerah pemilihan bagi provinsi dan kabupaten/kota induk
serta provinsi dan kabupaten/kota yang dibentuk setelah
Pemilu tahun 2004.
Pasal 318
Dalam Pemilu tahun 2009, anggota Tentara Nasional Indonesia
dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak
menggunakan haknya untuk memilih.
BAB XXIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 319
Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara
Tahun 2003 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4277) sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2006 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Tahun 2006 Nomor 60, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4631), dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 320
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar . . .
- 135 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 31 Maret 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 31 Maret 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 51
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Wisnu Setiawan
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN 2008
TENTANG
PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT,
DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
I. UMUM
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menyatakan bahwa "kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar". Makna dari “kedaulatan
berada di tangan rakyat” dalam hal ini ialah bahwa rakyat memiliki
kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis
memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna mengurus
dan melayani seluruh lapisan masyarakat, serta memilih wakil-wakil rakyat
untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Perwujudan kedaulatan rakyat
dimaksud dilaksanakan melalui pemilihan umum secara langsung sebagai
sarana bagi rakyat untuk memilih wakil-wakilnya yang akan menjalankan
fungsi melakukan pengawasan, menyalurkan aspirasi politik rakyat,
membuat undang-undang sebagai landasan bagi semua pihak di Negara
Kesatuan Republik Indonesia dalam menjalankan fungsi masing-masing,
serta merumuskan anggaran pendapatan dan belanja untuk membiayai
pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut.
Sesuai ketentuan Pasal 22E ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, pemilihan umum untuk memilih anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah diselenggarakan berlandaskan azas langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Pemilihan
umum dimaksud diselenggarakan dengan menjamin prinsip keterwakilan,
yang artinya setiap orang Warga Negara Indonesia terjamin memiliki wakil
yang duduk di lembaga perwakilan yang akan menyuarakan aspirasi rakyat
di setiap tingkatan pemerintahan, dari pusat hingga ke daerah.
Dengan asas langsung, rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk
memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati
nuraninya, tanpa perantara. Pemilihan yang bersifat umum mengandung
makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga
Dengan . . .
- 2 -
negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis
kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial. Setiap warga negara
yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan
paksaan dari siapa pun. Di dalam melaksanakan haknya, setiap warga
negara dijamin keamanannya oleh negara, sehingga dapat memilih sesuai
dengan kehendak hati nurani. Dalam memberikan suaranya, pemilih
dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak mana pun.
Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat
diketahui oleh orang lain. Dalam penyelenggaraan pemilu ini, penyelenggara
pemilu, aparat pemerintah, peserta pemilu, pengawas pemilu, pemantau
pemilu, pemilih, serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan
bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Setiap
pemilih dan peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas
dari kecurangan pihak manapun.
Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang majemuk dan
berwawasan kebangsaan, partai politik merupakan saluran untuk
memperjuangkan aspirasi masyarakat, sekaligus sebagai sarana kaderisasi
dan rekrutmen pemimpin baik untuk tingkat nasional maupun daerah,
serta untuk rekrutmen pimpinan berbagai komponen penyelenggara negara.
Oleh karena itu, peserta pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD
adalah partai politik. Selain itu, untuk mengakomodasi aspirasi
keanekaragaman daerah, sesuai dengan ketentuan Pasal 22 C Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dibentuk Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) yang anggota-anggotanya dipilih dari
perseorangan yang memenuhi persyaratan dalam pemilihan umum
bersamaan dengan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan
DPRD.
Dalam pemilihan umum, keberadaan partai politik sebagai peserta
ditandai dengan tanda gambar dan nama-nama calon anggota lembaga
perwakilan dari partai yang bersangkutan. Untuk memudahkan rakyat
dalam menentukan pilihannya, tanda gambar partai politik peserta
pemilihan umum tentu harus berbeda antara satu partai politik dengan
partai politik lainnya dan tidak boleh menggunakan simbol-simbol/tanda
identitas kelembagaan yang digunakan oleh gerakan separatis atau
organisasi terlarang. Bagi calon anggota DPD, keberadaan sebagai peserta
pemilihan umum ditandai dengan pasfoto diri dan nama-nama calon
anggota DPD yang bersangkutan. Pengaturan lebih lanjut mengenai
keikutsertaan partai politik dan perseorangan dalam pemilihan umum
dituangkan dalam pasal-pasal Undang-Undang ini.
pemilihan . . .
- 3 -
Agar tercipta derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan
mempunyai derajat keterwakilan yang lebih tinggi, serta memiliki
mekanisme pertanggungjawaban yang jelas, maka penyelenggaraan
pemilihan umum harus dilaksanakan secara lebih berkualitas dari waktu ke
waktu. Oleh karena itu, dipandang perlu untuk mengganti landasan hukum
penyelenggaraan pemilihan umum yang tertuang dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10
Tahun 2006 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Menjadi Undang-Undang, dengan undang-undang baru yang
lebih komprehensif dan sesuai untuk menjawab tantangan permasalahan
baru dalam penyelenggaraan pemilihan umum.
Di dalam undang-undang ini diatur beberapa perubahan pokok
tentang penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
khususnya yang berkaitan dengan penguatan persyaratan peserta pemilu,
kriteria penyusunan daerah pemilihan, sistem pemilu proporsional dengan
daftar calon terbuka terbatas, dan penetapan calon terpilih, serta
penyelesaian sengketa pemilu. Perubahan-perubahan ini dilakukan untuk
memperkuat lembaga perwakilan rakyat melalui langkah mewujudkan
sistem multipartai sederhana yang selanjutnya akan menguatkan pula
sistem pemerintahan presidensiil sebagaimana dimaksudkan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) . . .
- 4 -
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “masa kampanye” adalah tenggang
waktu berlakunya kampanye yang ditetapkan Undang-
Undang ini.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b . . .
- 5 -
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
“kantor tetap” adalah kantor yang layak, milik sendiri,
sewa, pinjam pakai, serta mempunyai alamat tetap.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Pemilu sebelumnya” adalah mulai
Pemilu tahun 2009 dan selanjutnya.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa” dalam arti taat menjalankan kewajiban agamanya.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “bertempat tinggal di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia” dalam ketentuan ini termasuk
Warga Negara Indonesia yang karena alasan tertentu pada saat
pendaftaran calon, bertempat tinggal di luar negeri, dan dengan
Melengkapi . . .
- 6 -
melengkapi persyaratan surat keterangan dari Perwakilan
Negara Republik Indonesia setempat.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “bentuk lain yang sederajat” antara lain
Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB), Pondok Pesantren
Salafiah, Sekolah Menengah Theologia Kristen, dan Sekolah
Seminari.
Kesederajatan pendidikan dengan SMA ditetapkan oleh
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Orang yang dipidana penjara karena alasan politik dikecualikan
dari ketentuan ini.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “sehat jasmani dan rohani” adalah
sehat yang dibuktikan dengan surat kesehatan dari rumah
sakit Pemerintah termasuk puskesmas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Yang dimaksud dengan “bersedia bekerja penuh waktu” adalah
bersedia untuk tidak menekuni pekerjaan lain apa pun yang
dapat menggangu tugas dan kewajibannya sebagai anggota
DPD.
Huruf k
Surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali dibuktikan dengan surat
keterangan telah diterima dan diteruskan oleh instansi terkait.
Yang dimaksud dengan “keuangan negara” termasuk
APBN/APBD.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o . . .
- 7 -
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dinyatakan batal dalam ketentuan ini adalah dukungan
kepada semua calon yang didukung.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Proses pembentukan pengurus partai politik berdasarkan
mekanisme partai politik masing-masing.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “penyertaan keterwakilan perempuan
sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) sesuai dengan
peraturan perundang-undangan” adalah sebagaimana diatur
dalam Pasal 2 ayat (5), Pasal 20, dan Pasal 51 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
Huruf e
Yang . . .
- 8 -
Yang dimaksud dengan ”departemen” adalah departemen yang
membidangi urusan hukum dan hak asasi manusia.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “surat keterangan mengenai perolehan
kursi” adalah surat keputusan KPU mengenai perolehan kursi
partai politik yang telah mengikuti Pemilu sebelumnya.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
ukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.p jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29 . . .
- 9 -
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan data kependudukan adalah data
penduduk dan data penduduk potensial Pemilih Pemilu (DP4).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pengumuman daftar pemilih sementara dilakukan dengan cara
menempelkannya pada sarana pengumuman desa/kelurahan
dan/atau sarana umum yang mudah dijangkau dan dilihat
masyarakat.
Yang dimaksud dengan “hari” adalah hari berdasarkan
kalender.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang . . .
- 10 -
Yang dimaksud dengan “masukan dan tanggapan dari
masyarakat dan Peserta Pemilu tentang daftar pemilih
sementara” adalah untuk menambah data pemilih yang
memenuhi persyaratan tetapi belum terdaftar dan/atau
mengurangi data pemilih karena tidak memenuhi persyaratan.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “salinan daftar pemilih tetap” adalah
salinan yang dalam bentuk kopi peranti lunak (softcopy),
cakram padat (compact disk), atau fotokopi. Salinan atau
fotokopi Daftar Pemilih Tetap sebagaimana dimaksud dapat
diperoleh di Kantor KPU kabupaten/kota bersangkutan.
Pasal 39
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “mengumumkan daftar pemilih tetap”
adalah menempelkan salinan daftar pemilih tetap di papan
pengumuman dan/atau tempat yang mudah dijangkau dan
dilihat oleh masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang . . .
- 11 -
Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” meliputi keadaan
karena menjalankan tugas pada saat pemungutan suara atau
karena kondisi tidak terduga di luar kemauan dan kemampuan
yang bersangkutan, misalnya karena sakit, menjadi tahanan,
tertimpa bencana alam sehingga tidak dapat menggunakan hak
suaranya di TPS yang bersangkutan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa” dalam arti taat menjalankan kewajiban
agamanya.
Huruf c . . .
- 12 -
Huruf c
Yang dimaksud dengan “bertempat tinggal di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia” dalam ketentuan ini
termasuk Warga Negara Indonesia yang karena alasan
tertentu pada saat pendaftaran calon, bertempat tinggal di
luar negeri, dan dengan melengkapi persyaratan surat
keterangan dari Perwakilan Negara Republik Indonesia
setempat.
Huruf d
Persyaratan sebagaimana tercantum dalam ketentuan ini
tidak dimaksudkan untuk membatasi hak politik warga
negara penyandang cacat yang memiliki kemampuan
untuk melakukan tugasnya sebagai anggota DPR, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “bentuk lain yang sederajat” antara
lain Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB), Pondok
Pesantren Salafiah, Sekolah Menengah Teologia Kristen,
dan Sekolah Seminari.
Kesederajatan pendidikan dengan SMA ditetapkan oleh
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Orang yang dipidana penjara karena alasan politik
dikecualikan dari ketentuan ini.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “sehat jasmani dan rohani” adalah
sehat yang dibuktikan dengan surat kesehatan dari rumah
sakit Pemerintah termasuk puskesmas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
yang dimaksud dengan “bersedia bekerja penuh waktu”
adalah bersedia untuk tidak menekuni pekerjaan lain apa
pun yang dapat menggangu tugas dan kewajibannya
sebagai . . .
- 13 -
sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota.
Huruf k
Surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali
dibuktikan dengan surat keterangan telah diterima dan
diteruskan oleh instansi terkait.
Yang dimaksud dengan “keuangan negara” termasuk
APBN/APBD.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
1) Bukti kelulusan dalam bentuk fotokopi yang dilegalisasi
atas ijazah, STTB, syahadah dari satuan pendidikan
yang terakreditasi, atau ijazah, syahadah, STTB,
sertifikat, dan surat keterangan lain yang menerangkan
kelulusan dari satuan pendidikan atau program
pendidikan yang diakui sama dengan kelulusan satuan
pendidikan jenjang pendidikan menengah. Termasuk
dalam kategori ini adalah surat keterangan lain yang
menerangkan bahwa seseorang diangkat sebagai guru
atau dosen berdasarkan keahliannya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
2) KPU dalam menyusun peraturan KPU dalam kaitan ini
berkoordinasi dengan Menteri Pendidikan Nasional dan
Menteri Agama.
3) Legalisasi oleh Pemerintah dalam hal ini Departemen
Pendidikan Nasional, Departemen Agama, atau
Pemerintah . ..
- 14 -
Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas Pendidikan,
kantor wilayah/kantor Departemen Agama sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Persyaratan sebagaimana tercantum dalam ketentuan ini
tidak dimaksudkan untuk membatasi hak politik warga
negara penyandang cacat yang memiliki kemampuan
untuk melakukan tugasnya sebagai anggota DPR, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Bagi pegawai negeri sipil yang sudah mengundurkan diri
dapat memperoleh kartu tanda anggota partai politik.
Huruf j
Cukup jelas
Huruf k
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan Pengurus Pusat Partai Politik adalah
Ketua Dewan Pimpinan Pusat partai politik atau nama lainnya.
Ayat (3)
Yang ….
- 15 -
Yang dimaksud dengan Pengurus Partai Politik tingkat provinsi
adalah Ketua Dewan Pimpinan daerah partai politik tingkat
provinsi atau nama lainnya.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan Pengurus Partai Politik tingkat
kabupaten/kota adalah Ketua Dewan Pimpinan daerah partai
politik tingkat kabupaten/kota atau nama lainnya.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Ayat (1)
Pengembalian dapat berupa penolakan karena tidak memenuhi
persyaratan sebagai bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi
dan DPRD kabupaten/kota, atau berupa permintaan untuk
melengkapi, memperbaiki atau mengganti kelengkapan
dokumen.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam menyusun peraturan KPU, KPU berkoordinasi dengan
instansi terkait.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Ayat (1)
Cukup . . .
- 16 -
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “masukan dan tanggapan dari
masyarakat” adalah yang berkaitan dengan persyaratan
administrasi calon sementara anggota DPR, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota yang disertai identitas diri pemberi
masukan dan tanggapan.
Ayat (6)
Pengumuman persentase keterwakilan perempuan dalam daftar
calon sementara dalam ketentuan ini dilakukan sekurangkurangnya
pada 1 (satu) media cetak selama satu hari dan pada
1 (satu) media elektronik selama satu hari.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Ayat (1)
Pengumuman Daftar Calon Tetap oleh KPU, KPU provinsi, dan
KPU kabupaten/kota dalam ketentuan ini dilakukan sekurangkurangnya
pada 1 (satu) media cetak dan media elektronik
nasional untuk Daftar Calon Tetap anggota DPR dan 1 (satu)
media cetak dan media elektronik daerah untuk Daftar Calon
Tetap anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota
selama satu hari.
Ayat (2) . . .
- 17 -
Ayat (2)
Pengumuman persentase keterwakilan perempuan dalam daftar
calon sementara dalam ketentuan ini dilakukan sekurangkurangnya
pada 1 (satu) media cetak selama satu hari dan pada
1 (satu) media elektronik selama satu hari.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 67
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
1) Bukti kelulusan dalam bentuk fotokopi yang dilegalisasi
atas ijazah, STTB, syahadah dari satuan pendidikan
yang terakreditasi, atau ijazah, syahadah, STTB,
sertifikat, dan surat keterangan lain yang menerangkan
kelulusan dari satuan pendidikan atau program
pendidikan yang diakui sama dengan kelulusan satuan
pendidikan jenjang pendidikan menengah. Termasuk
dalam kategori ini adalah surat keterangan lain yang
menerangkan bahwa seseorang diangkat sebagai guru
atau dosen berdasarkan keahliannya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
2) KPU dalam menyusun peraturan KPU dalam kaitan ini
berkoordinasi dengan Menteri Pendidikan Nasional dan
Menteri Agama.
3) Legalisasi oleh Pemerintah dalam hal ini Departemen
Pendidikan Nasional, Departemen Agama, atau
Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas Pendidikan,
kantor wilayah/kantor Departemen Agama sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Persyaratan sebagaimana tercantum dalam ketentuan ini
tidak dimaksudkan untuk membatasi hak politik warga
negara penyandang cacat yang memiliki kemampuan
untuk melakukan tugasnya sebagai anggota DPD.
Huruf e . . .
- 18 -
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Peran KPU kabupaten/kota terbatas verifikasi terhadap
dukungan minimal Pemilih.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 71
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota membantu
penyebarluasan pengumuman tersebut di daerah masingmasing.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 72 . . .
- 19 -
Pasal 72
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “masukan dan tanggapan dari
masyarakat” adalah yang berkaitan dengan persyaratan
administrasi calon sementara anggota DPD dan dapat
disampaikan melalui KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “organisasi yang ditunjuk oleh Peserta
Pemilu” antara lain organisasi sayap partai politik Peserta
Pemilu dan organisasi penyelenggara kegiatan (event organizer).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81 . . .
- 20 -
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan ketertiban umum adalah suatu
keadaan yang memungkinkan penyelenggaraan
pemerintahan, pelayanan umum, dan kegiatan masyarakat
dapat berlangsung sebagaimana biasanya.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan ”tempat pendidikan” pada ayat ini
adalah gedung dan halaman sekolah/perguruan tinggi.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Ayat (2) . . .
- 21 -
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “dilarang mengikutsertakan” pada ayat
ini adalah dilarang secara aktif melibatkan pejabat dan/atau
pegawai negeri sipil serta anggota Tentara Nasional Indonesia
dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam kegiatan
kampanye pemilihan umum sebagai panitia pelaksana
kampanye dan/atau juru kampanye.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Yang dimaksud menjanjikan atau memberi adalah inisiatifnya berasal
dari pelaksana kampanye yang menjanjikan dan memberikan untuk
mempengaruhi pemilih.
Yang dimaksud materi dalam Pasal ini tidak termasuk barang-barang yang merupakan
atribut kampanye pemilu, antara lain kaos, bendera, topi dan atribut lainya.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas. Pasal 92 . . .
- 22 -
Pasal 93
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “dilarang berisikan hal yang dapat
mengganggu kenyamanan” antara lain bersifat fitnah,
menghasut, menyesatkan dan/atau bohong; menonjolkan
unsur kekerasan, cabul, perjudian, atau mempertentangkan
suku, agama, ras, dan antar golongan; memperolok-olokkan,
merendahkan, melecehkan, dan/atau mengabaikan nilai-nilai
agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan
internasional.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “kesempatan yang sama” adalah
peluang yang sama untuk menggunakan kolom pada media
cetak dan jam tayang pada lembaga penyiaran bagi semua
peserta kampanye.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 94
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “blocking segment” adalah kolom pada
media cetak dan sub-acara pada lembaga penyiaran yang
digunakan untuk keperluan pemberitaan bagi publik.
Yang dimaksud dengan “blocking time” adalah hari/tanggal
penerbitan media cetak dan jam tayang pada lembaga
penyiaran yang digunakan untuk keperluan pemberitaan bagi
publik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97 . . .
- 23 -
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Komisi Penyiaran Indonesia” adalah
Komisi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Yang dimaksud dengan “Dewan Pers” adalah Dewan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 1999 tentang Pers.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
KPU dalam merumuskan peraturan tentang pemberitaan, penyiaran,
iklan kampanye, dan pemberian sanksi berkoordinasi dengan Komisi
Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Ayat (1) Pasal 106 . . .
- 24 -
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tindak pidana pemilu pada tahap
pelaksanaan kampanye di tingkat desa/kelurahan”, antara
lain: tidak adil terhadap peserta pemilu, mengubah jadwal
yang menguntungkan salah satu peserta pemilu dan
merugikan peserta lain, melepas atau menyobek alat
peraga kampanye, merusak tempat kampanye, berbuat
keonaran, mengancam pelaksana dan atau peserta
kampanye.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tindak pidana pemilu pada tahap
pelaksanaan kampanye di tingkat kecamatan”, antara lain:
tidak adil terhadap peserta pemilu, mengubah jadwal yang
menguntungkan salah satu peserta pemilu dan merugikan
peserta lain, melepas atau menyobek alat peraga
kampanye, merusak tempat kampanye, berbuat keonaran,
mengancam pelaksana dan atau peserta kampanye.
Huruf c
Huruf c . . .
- 25 -
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Ayat (1)
Penyelesaian dalam ketentuan ini dapat berupa peringatan
tertulis, penghentian kegiatan kampanye.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121 . . .
- 26 -
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “menetapkan penyelesaian” dapat bersifat
final, dapat juga bersifat tindak lanjut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
Cukup jelas.
Pasal 128
Cukup jelas.
Pasal 129
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c . . .
- 27 -
Huruf c
Yang dimaksud dengan “sumbangan yang sah menurut
hukum dari pihak lain” adalah sumbangan yang tidak
berasal dari tindak pidana, bersifat tidak mengikat, berasal
dari perseorangan, kelompok, dan/atau perusahaan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “jasa” adalah pelayanan/pekerjaan yang
dilakukan pihak lain yang manfaatnya dinikmati oleh penerima
jasa.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Termasuk yang harus dibukukan adalah kontrak-kontrak yang
dibuat maupun pengeluaran yang dilakukan sebelum masa
yang diatur dalam ketentuan ini tetapi pelaksanaan dan
penggunaannya dilakukan pada saat kampanye sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 82 ayat (2).
Pasal 130
Cukup jelas.
Pasal 131
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ”identitas yang jelas” adalah nama dan
alamat penyumbang.
Pasal 132
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b . . .
- 28 -
Huruf b
Yang dimaksud dengan “sumbangan yang sah menurut
hukum dari pihak lain” adalah sumbangan yang tidak
berasal dari tindak pidana, bersifat tidak mengikat, berasal
dari perseorangan, kelompok, dan/atau perusahaan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “jasa” adalah pelayanan/pekerjaan yang
dilakukan pihak lain yang manfaatnya dinikmati oleh penerima
jasa.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 133
Cukup jelas.
Pasal 134
Cukup jelas.
Pasal 135
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Pengumuman dapat dilakukan melalui papan pengumuman
dan internet.
Pasal 136 . . .
- 29 -
Pasal 136
Ayat (1)
Dalam menetapkan kantor akuntan publik yang memenuhi
persyaratan di setiap provinsi, KPU bekerja sama dan
memperhatikan masukan dari Ikatan Akuntan Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 137
Cukup jelas.
Pasal 138
Cukup jelas.
Pasal 139
Cukup jelas.
Pasal 140
Cukup jelas.
Pasal 141
Cukup jelas.
Pasal 142
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “dukungan perlengkapan pemungutan
suara lainnya” meliputi sampul kertas, tanda pengenal
KPPS/KPPSLN, tanda pengenal petugas keamanan TPS/TPSLN,
tanda pengenal saksi, karet pengikat surat suara, lem/perekat,
kantong plastik, ballpoint, gembok, spidol, formulir untuk berita
acara dan sertifikat, sticker nomor kotak suara, tali pengikat
alat pemberi tanda pilihan, dan alat bantu tuna netra.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5) . . .
- 30 -
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 143
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
KPU menetapkan peraturan tentang format surat suara setelah
berkonsultasi dengan Pemerintah dan DPR.
Pasal 144
Cukup jelas.
Pasal 145
Cukup jelas.
Pasal 146
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “memverifikasi jumlah”:
- surat suara yang telah dicetak adalah memverifikasi jumlah
surat suara yang dicetak sesuai dengan ketentuan;
- surat suara yang dicetak yang tidak sesuai dengan
ketentuan untuk dimusnahkan;
- surat . . .
- 31 -
- surat suara yang dikirim adalah memverifikasi jumlah surat
suara yang sudah dikirim ke KPU provinsi atau KPU
kabupaten/kota;
- surat suara yang masih tersimpan adalah memverifikasi
jumlah surat suara yang masih tersimpan di percetakan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 147
Cukup jelas.
Pasal 148
Cukup jelas.
Pasal 149
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Selain menunjukkan surat pemberitahuan sebagaimana
dimaksud pada ayat ini, pemilih harus menunjukkan kartu
tanda penduduk atau identitas lainnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 150
Cukup jelas.
Pasal 151
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Petugas yang menangani ketenteraman, ketertiban, dan
keamanan dalam ketentuan ini berasal dari satuan pertahanan
sipil/perlindungan masyarakat.
Ayat (5) . . .
- 32 -
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 152
Cukup jelas.
Pasal 153
Cukup jelas.
Pasal 154
Cukup jelas.
Pasal 155
Cukup jelas.
Pasal 156
Cukup jelas.
Pasal 157
Cukup jelas.
Pasal 158
Ayat (1)
Huruf a
Pemilih yang terdaftar pada daftar pemilih tetap pada
TPSLN dalam melaksanakan haknya untuk memilih
menunjukkan alat bukti diri berupa paspor atau
keterangan lain yang dikeluarkan oleh Kantor Perwakilan
Republik Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 159
Cukup jelas.
Pasal 160 . . .
- 33 -
Pasal 160
Cukup jelas.
Pasal 161
Cukup jelas.
Pasal 162
Cukup jelas.
Pasal 163
Cukup jelas.
Pasal 164
Cukup jelas.
Pasal 165
Cukup jelas.
Pasal 166
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “tanda khusus” adalah tanda yang
menandai pemilih dengan tinta sehingga tanda itu jelas dan
mudah terlihat, tidak terhapus sampai penghitungan suara
dilaksanakan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 167
Cukup jelas.
Pasal 168
Cukup jelas.
Pasal 169
Cukup jelas.
Pasal 170
Cukup jelas.
Pasal 171
Cukup jelas.
Pasal 172
Cukup jelas.
Pasal 173 . . .
- 34 -
Pasal 173
Cukup jelas.
Pasal 174
Cukup jelas.
Pasal 175
Cukup jelas.
Pasal 176
Cukup jelas.
Pasal 177
Cukup jelas.
Pasal 178
Cukup jelas.
Pasal 179
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Format berita acara pemungutan dan penghitungan suara dan
sertifikat penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dibuat dengan menyediakan tempat untuk memuat
hasil penghitungan suara dan penandatanganannya di halaman
yang sama. Dalam hal penyediaan tempat dimaksud tidak
memungkinkan, KPU menyediakan kolom untuk tanda tangan
pada setiap halaman.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 180
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Sertifikat hasil penghitungan suara yang disampaikan kepada
saksi peserta pemilu dan Panwaslu lapangan yang hadir
memuat surat suara yang diterima, yang digunakan, yang
rusak, yang keliru di coblos, sisa surat suara cadangan, jumlah
pemilih dalam daftar pemilih tetap, dan dari TPS lain, serta
jumlah perolehan suara sah tiap peserta pemilu.
Ayat (3) . . .
- 35 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “surat suara” adalah surat suara
terpakai, surat suara tidak terpakai, surat suara rusak, dan
sisa surat suara cadangan yang masing-masing dimasukkan ke
dalam amplop terpisah.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 181
Cukup jelas.
Pasal 182
Cukup jelas.
`
Pasal 183
Cukup jelas.
Pasal 184
Cukup jelas.
Pasal 185
Yang dimaksud dengan “surat suara” adalah surat suara terpakai,
surat suara tidak terpakai, surat suara rusak, dan sisa surat suara
cadangan yang masing-masing dimasukkan ke dalam amplop
terpisah.
Pasal 186
Cukup jelas.
Pasal 187
Cukup jelas.
Pasal 188
Cukup jelas.
Pasal 189
Cukup jelas.
Pasal 190
Cukup jelas.
Pasal 191 . . .
- 36 -
Pasal 191
Cukup jelas.
Pasal 192
Cukup jelas.
Pasal 193
Cukup jelas.
Pasal 194
Cukup jelas.
Pasal 195
Cukup jelas.
Pasal 196
Cukup jelas.
Pasal 197
Cukup jelas.
Pasal 198
Cukup jelas.
Pasal 199
Cukup jelas.
Pasal 200
Cukup jelas.
Pasal 201
Cukup jelas.
Pasal 202
Cukup jelas.
Pasal 203
Cukup jelas.
Pasal 204
Cukup jelas.
Pasal 205
Cukup jelas.
Pasal 206
Cukup jelas.
Pasal 207 . . .
- 37 -
Pasal 207
Cukup jelas.
Pasal 208
Cukup jelas.
Pasal 209
Cukup jelas.
Pasal 210
Cukup jelas.
Pasal 211
Cukup jelas.
Pasal 212
Cukup jelas.
Pasal 213
Cukup jelas.
Pasal 214
Cukup jelas.
Pasal 215
Cukup jelas.
Pasal 216
Cukup jelas.
Pasal 217
Cukup jelas.
Pasal 218
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pengunduran diri calon terpilih yang dimaksud dalam
ketentuan ini dinyatakan dengan surat penarikan
pencalonan calon terpilih oleh Partai Politik Peserta Pemilu
berdasarkan surat pengunduran diri calon terpilih yang
bersangkutan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d . . .
- 38 -
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 219
Cukup jelas.
Pasal 220
Cukup jelas.
Pasal 221
Cukup jelas.
Pasal 222
Cukup jelas.
Pasal 223
Cukup jelas.
Pasal 224
Cukup jelas.
Pasal 225
Cukup jelas.
Pasal 226
Cukup jelas.
Pasal 227
Cukup jelas.
Pasal 228
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Pemilu lanjutan” adalah Pemilu untuk
melanjutkan tahapan yang terhenti dan/atau tahapan yang
belum dilaksanakan.
Ayat (2) . . .
- 39 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 229
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Pemilu susulan” adalah Pemilu untuk
melaksanakan semua tahapan Pemilu yang tidak dapat
dilaksanakan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 230
Cukup jelas.
Pasal 231
Cukup jelas.
Pasal 232
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Kompetensi dan pengalaman sebagai pemantau Pemilu di
negara lain dibuktikan dengan rekam jejak yang
bersangkutan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 233
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d . . .
- 40 -
Huruf d
Yang dimaksud ”daerah yang ingin dipantau” adalah
wilayah administrasi pemerintahan dapat berupa
desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, dan
provinsi.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 234
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Persyaratan bagi pemantau luar negeri sesuai dengan
persyaratan bagi pemantau sebagaimana termuat di Pasal 232.
Pasal 235
Cukup jelas.
Pasal 236
Cukup jelas.
Pasal 237
Cukup jelas.
Pasal 238 . . .
- 41 -
Pasal 238
Huruf a
Yang dimaksud dengan kegiatan yang mengganggu proses
pelaksanaan Pemilu antara lain penggunaan alat elektronik yang
dapat mengganggu sistem komunikasi dan informasi Pemilu.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Pasal 239
Cukup jelas.
Pasal 240
Cukup jelas.
Pasal 241
Yang dimaksud dengan “menindaklanjuti penetapan pencabutan
status dan hak pemantau asing” dalam ketentuan ini adalah
melakukan tindakan hukum yang diperlukan terhadap pemantau
asing sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Pasal 242 . . .
- 42 -
Pasal 242
Pelaporan rencana pelaksanaan kegiatan pemantauan Pemilu kepada
KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota dimaksudkan agar KPU,
KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota dapat mengatur
keseimbangan distribusi penempatan pemantau Pemilu sehingga
tidak terjadi penumpukan pemantau Pemilu di suatu lokasi tertentu.
Pelaporan rencana kegiatan pemantauan oleh pemantau kepada
kepolisian ditujukan untuk memudahkan kepolisian memberikan
pelayanan perlindungan hukum dan keamanan sesuai ketentuan
Pasal 236 ayat (1) huruf a, disamping untuk memenuhi kewajiban
melaporkan diri.
Bagi pemantau dalam negeri, pelaporan rencana pemantauan Pemilu
disesuaikan dengan cakupan pemantauan. Dalam hal cakupan
pemantauan meliputi hanya satu wilayah kabupaten/kota saja,
pelaporan kehadiran pemantau di kabupaten/kota tersebut
dilaporkan kepada kepala kepolisian resor setempat. Dalam hal
cakupan pemantauan meliputi lebih dari satu kabupaten/kota, maka
pelaporan dilakukan kepada kepala kepolisian daerah provinsi.
Bagi pemantau asing, pelaporan rencana pemantauan Pemilu
ditujukan kepada kepala kepolisian daerah provinsi, mengikuti
ketentuan perundang-undangan yang mengatur pelaporan
keberadaan orang asing.
Pasal 243
Cukup jelas.
Pasal 244
Cukup jelas.
Pasal 245
Cukup jelas.
Pasal 246
Cukup jelas.
Pasal 247
Cukup jelas.
Pasal 248
Cukup jelas.
Pasal 249
Cukup jelas.
Pasal 250
Cukup jelas.
Pasal 251 . . .
- 43 -
Pasal 251
Cukup jelas.
Pasal 252
Cukup jelas.
Pasal 253
Cukup jelas.
Pasal 254
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “hakim khusus” adalah hakim karier
pada pengadilan negeri dan pengadilan tinggi yang ditetapkan
secara khusus untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara pidana Pemilu.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 255
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “upaya hukum lain” adalah kasasi
ataupun peninjauan kembali (PK).
Pasal 256
Cukup jelas.
Pasal 257
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “putusan pengadilan” dalam ketentuan
ini adalah putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap.
Ayat (2) . . .
- 44 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas. Cukup jelas.
Pasal 258
Cukup jelas.
Pasal 259
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pengajuan permohonan pembatalan
penetapan hasil penghitungan perolehan suara” yang diajukan
kepada Mahkamah Konstitusi hanya yang berkaitan dengan
yang dimohonkan untuk dibatalkan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 260
Cukup jelas.
Pasal 261
Cukup jelas.
Pasal 262
Cukup jelas.
Pasal 263
Cukup jelas.
Pasal 264
Cukup jelas.
Pasal 265
Cukup jelas.
Pasal 266
Cukup jelas.
Pasal 267
Cukup jelas.
Pasal 268
Cukup jelas.
Pasal 269 . . .
- 45 -
Pasal 269
Cukup jelas.
Pasal 270
Cukup jelas.
Pasal 271
Cukup jelas.
Pasal 272
Cukup jelas. Cukup jelas.
Pasal 273
Cukup jelas.
Pasal 274
Cukup jelas.
Pasal 275
Cukup jelas.
Pasal 276
Cukup jelas.
Pasal 277
Cukup jelas.
Pasal 278
Cukup jelas.
Pasal 279
Cukup jelas.
Pasal 280
Cukup jelas.
Pasal 281
Cukup jelas.
Pasal 282
Cukup jelas.
Pasal 283
Cukup jelas.
Pasal 284 . . .
- 46 -
Pasal 284
Cukup jelas.
Pasal 285
Cukup jelas.
Pasal 286
Cukup jelas.
Pasal 287
Cukup jelas.
Pasal 288
Cukup jelas.
Pasal 289
Cukup jelas.
Pasal 290
Cukup jelas.
Pasal 291
Cukup jelas.
Pasal 292
Yang dimaksud dengan “pekerjaan tidak bisa ditinggalkan” adalah
pekerjaan yang penanganannya tidak dapat digantikan oleh orang lain
atau pekerjaan tersebut tidak dapat dihentikan, misalnya tenaga medis
dan paramedis yang sedang melakukan operasi, penjaga mercu suar,
dan lain-lain.
Pasal 293
Cukup jelas.
Pasal 294
Cukup jelas.
Pasal 295
Cukup jelas.
Pasal 296
Cukup jelas.
Pasal 297
Cukup jelas.
Pasal 298 . . .
- 47 -
Pasal 298
Cukup jelas.
Pasal 299
Cukup jelas.
Pasal 300
Cukup jelas.
Pasal 301
Cukup jelas.
Pasal 302
Cukup jelas.
Pasal 303
Cukup jelas.
Pasal 304
Cukup jelas.
Pasal 305
Cukup jelas.
Pasal 306
Cukup jelas.
Pasal 307
Cukup jelas.
Pasal 308
Cukup jelas.
Pasal 309
Cukup jelas.
Pasal 310
Cukup jelas.
Pasal 311
Cukup jelas.
Pasal 312
Cukup jelas.
Pasal 313
Cukup jelas.
Pasal 314
Cukup jelas.
Pasal 315 . . .
- 48 -
Pasal 315
Cukup jelas.
Pasal 316
Cukup jelas.
Pasal 317
Cukup jelas.
Pasal 318
Cukup jelas.
Pasal 319
Cukup jelas.
Pasal 320
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4836
LAMPIRAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 10 TAHUN 2008
TANGGAL : 31 MARET 2008
.
PEMBAGIAN DAERAH PEMILIHAN
ANGGOTA DPR RI
NO. PROVINSI
JUMLAH
KURSI
NAMA
DAPIL
JUMLAH
KURSI
PER DAPIL
WILAYAH DAPIL
(Nama Kabupaten/Kota)
Kabupaten/Kota)
Nanggroe
Aceh
Darussalam
I
7 1. Kab. Aceh Barat
2. Kab. Aceh Barat
Daya
3. Kab. Aceh Besar
4. Kab. Aceh Jaya
5. Kab. Aceh
Selatan
6. Kab. Aceh
Singkil
7. Kota
Subulussalam
8. Kota Banda Aceh
9. Kab. Nagan Raya
10. Kab. Simeulue
11. Kab. Gayo Luwes
12. Kota Sabang
13. Kab. Aceh
Tenggara
14. Kab. Pidie
15. Kab. Pidie Jaya
1. Nanggroe
Aceh
Darussalam
13
Nanggroe
Aceh
Darussalam
II
6 1. Kab. Aceh
Tamiang
2. Kab. Bener
Meriah
3. Kab. Aceh
Tengah
4. Kab. Aceh Timur
5. Kab. Aceh Utara
6. Kab. Bireun . . .
- 2 -
NO. PROVINSI
JUMLAH
KURSI
NAMA
DAPIL
JUMLAH
KURSI
PER DAPIL
WILAYAH DAPIL
(Nama Kabupaten/Kota)
Kabupaten/Kota)
6. Kab. Bireuen
7. Kota Langsa
8. Kota
Lhokseumawe
Sumatera
Utara I
10 1. Kota Medan
2. Kab. Deli
Serdang
3. Kab. Serdang
Bedagai
4. Kota Tebing
Tinggi
Sumatera
Utara II
10 1. Kab. Labuhan
Batu
2. Kab. Tapanuli
Selatan
3. Kota Padang
Sidempuan
4. Kab. Mandailing
Natal
5. Kab. Nias
6. Kab. Nias
Selatan
7. Kota Sibolga
8. Kab. Tapanuli
Tengah
9. Kab. Tapanuli
Utara
10. Kab. Humbang
Hasundutan
11. Kab. Toba
Samosir
12. Kab. Samosir
13. Kab. Padang
Lawas Utara
14. Kab. Padang
Lawas
2. Sumatera
Utara
30
Sumatera
Utara III
10 1. Kab. Asahan
2. Kota Tanjung . . .
- 3 -
NO. PROVINSI
JUMLAH
KURSI
NAMA
DAPIL
JUMLAH
KURSI
PER DAPIL
WILAYAH DAPIL
(Nama Kabupaten/Kota)
Kabupaten/Kota)
2. Kota Tanjung
Balai
3. Kota Pematang
Siantar
4. Kab. Simalungun
5. Kab. Pakpak
Bharat
6. Kab. Dairi
7. Kab. Karo
8. Kota Binjai
9. Kab. Langkat
10. Kab. Batubara
3. Sumatera
Barat
14 Sumatera
Barat I
8 1. Kab. Kepulauan
Mentawai
2. Kab. Pesisir
Selatan
3. Kota Padang
4. Kota Solok
5. Kab. Solok
6. Kab. Solok
Selatan
7. Kota Sawah
Lunto
8. Kab. Sijunjung
9. Kab.
Dharmasraya
10. Kota Padang
Panjang
11. Kab. Tanah
Datar
Sumatera
Barat II
6 1. Kab. Pasaman
2. Kab. Pasaman
Barat
3. Kota
Payakumbuh
4. Kab. Lima puluh
Koto
5. Kota Bukittinggi . . .
- 4 -
NO. PROVINSI
JUMLAH
KURSI
NAMA
DAPIL
JUMLAH
KURSI
PER DAPIL
WILAYAH DAPIL
(Nama Kabupaten/Kota)
Kabupaten/Kota)
5. Kota Bukittinggi
6. Kab. Agam
7. Kota Pariaman
8. Kab. Padang
Pariaman
Riau I 6 1. Kab. Siak
2. Kota Pakanbaru
3. Kab. Rokan Hilir
4. Kab. Rokan Hulu
5. Kab. Bengkalis
6. Kota Dumai
4. Riau 11
Riau II 5 1. Kab. Kuantan
Singingi
2. Kab. Indragiri
Hulu
3. Kab. Indragiri
Hilir
4. Kab. Pelalawan
5. Kab. Kampar
5. Kepulauan
Riau
3 Kepulauan
Riau
3 1. Kota Batam
2. Kab. Karimun
3. Kab. Bintan
4. Kab. Lingga
5. Kab. Natuna
6. Kota Tanjung
Pinang
6. Jambi 7 Jambi 7 1. Kab. Kerinci
2. Kab. Merangin
3. Kab. Sarolangun
4. Kab. Batang
Hari
5. Kab. Muaro
Jambi
6. Kab. Tanjung
Jabung Timur
7. Kab. Tanjung
Jabung Barat
8. Kab. Tebo . . .
- 5 -
NO. PROVINSI
JUMLAH
KURSI
NAMA
DAPIL
JUMLAH
KURSI
PER DAPIL
WILAYAH DAPIL
(Nama Kabupaten/Kota)
Kabupaten/Kota)
8. Kab. Tebo
9. Kab. Bungo
10. Kota Jambi
Sumatera
Selatan I
8 1. Kab. Banyuasin
2. Kab. Musi Banyu
Asin
3. Kab. Musi Rawas
4. Kota Palembang
5. Kota Lubuk
Linggau
7. Sumatera
Selatan
17
Sumatera
Selatan II
9 1. Kab. Muara Enim
2. Kab. Lahat
3. Kab. Ogan
Komering Ulu
4. Kab. Ogan
Komering Ulu
Timur
5. Kab. Ogan
Komering Ulu
Selatan
6. Kota Pagar Alam
7. Kota Prabumulih
8. Kab. Ogan
Komering Ilir
9. Kab. Ogan Ilir
10. Kab. Empat
Lawang
8. Bangka
Belitung
3 Bangka
Belitung
3 1. Kab. Bangka
2. Kab. Belitung
3. Kab. Belitung
Timur
4. Kab. Bangka
Selatan
5. Kab. Bangka
Tengah
6. Kab. Bangka
Barat
7. Kota Pangkal . . .
- 6 -
NO. PROVINSI
JUMLAH
KURSI
NAMA
DAPIL
JUMLAH
KURSI
PER DAPIL
WILAYAH DAPIL
(Nama Kabupaten/Kota)
Kabupaten/Kota)
7. Kota Pangkal
Pinang
9. Bengkulu 4 Bengkulu 4 1. Kota Bengkulu
2. Kab. Bengkulu
Selatan
3. Kab. Kaur
4. Kab. Seluma
5. Kab. Rejang
Lebong
6. Kab. Lebong
7. Kab. Kepahiang
8. Kab. Bengkulu
Utara
9. Kab. Muko Muko
10. Lampung 18 Lampung I 9 1. Kota Bandar
Lampung
2. Kab. Lampung
Barat
3. Kab. Lampung
Selatan
4. Kab. Tanggamus
5. Kab. Pesawaran
6. Kota Metro
Lampung II 9 1. Kab. Lampung
Tengah
2. Kab. Lampung
Utara
3. Kab. Tulang
Bawang
4. Kab. Way Kanan
5. Kab. Lampung
Timur
DKI Jakarta
I
6 1. Kodya Jakarta
Timur
11. DKI Jakarta 21
DKI Jakarta
II
7 1. Kodya Jakarta
Pusat + Luar
Negeri
2. Kodya Jakarta . . .
- 7 -
NO. PROVINSI
JUMLAH
KURSI
NAMA
DAPIL
JUMLAH
KURSI
PER DAPIL
WILAYAH DAPIL
(Nama Kabupaten/Kota)
Kabupaten/Kota)
2. Kodya Jakarta
Selatan
DKI Jakarta
III
8 1. Kodya Jakarta
Barat
2. Kodya Jakarta
Utara
3. Kab Adm.
Kepulauan
Seribu
Jawa Barat
I
7 1. Kota Bandung
2. Kota Cimahi
Jawa Barat
II
10 1. Kab. Bandung
2. Kab. Bandung
Barat
Jawa Barat
III
9 1. Kab. Cianjur
2. Kota Bogor
Jawa Barat
IV
6 1. Kab. Sukabumi
2. Kota Sukabumi
Jawa Barat
V
9 1. Kab. Bogor
Jawa Barat
VI
6 1. Kota Bekasi
2. Kota Depok
Jawa Barat
VII
10 1. Kab. Purwakarta
2. Kab. Karawang
3. Kab. Bekasi
Jawa Barat
VIII
9 1. Kab. Cirebon
2. Kab. Indramayu
3. Kota Cirebon
Jawa Barat
IX
8 1. Kab. Majalengka
2. Kab. Sumedang
3. Kab. Subang
Jawa Barat
X
7 1. Kab. Ciamis
2. Kab. Kuningan
3. Kota Banjar
12. Jawa Barat 91
Jawa Barat
XI
10 1. Kab. Garut
2. Kab. Tasikmalaya
3. Kota Tasikmalaya . . .
- 8 -
NO. PROVINSI
JUMLAH
KURSI
NAMA
DAPIL
JUMLAH
KURSI
PER DAPIL
WILAYAH DAPIL
(Nama Kabupaten/Kota)
Kabupaten/Kota)
3. Kota Tasikmalaya
Banten I 6 1. Kab. Pandeglang
2. Kab. Lebak
Banten II 6 1. Kota Cilegon
2. Kab. Serang
3. Kota Serang
13. Banten 22
Banten III 10 1. Kab. Tangerang
2. Kota Tangerang
Jawa
Tengah I
8 1. Kab. Semarang
2. Kab. Kendal
3. Kota Salatiga
4. Kota Semarang
Jawa
Tengah II
7 1. Kab. Kudus
2. Kab. Jepara
3. Kab. Demak
Jawa
Tengah III
9 1. Kab. Grobogan
2. Kab. Blora
3. Kab. Rembang
4. Kab. Pati
Jawa
Tengah IV
7 1. Kab. Wonogiri
2. Kab.
Karanganyar
3. Kab. Sragen
Jawa
Tengah V
8 1. Kab. Boyolali
2. Kab. Klaten
3. Kab. Sukoharjo
4. Kota Surakarta
14.
Jawa Tengah
77
Jawa
Tengah VI
8 1. Kab. Purworejo
2. Kab. Wonosobo
3. Kab. Magelang
4. Kab.
Temanggung
5. Kota Magelang
Jawa
Tengah VII
7 1. Kab. Purbalingga
2. Kab. Banjarnegara . . .
- 9 -
NO. PROVINSI
JUMLAH
KURSI
NAMA
DAPIL
JUMLAH
KURSI
PER DAPIL
WILAYAH DAPIL
(Nama Kabupaten/Kota)
Kabupaten/Kota)
2. Kab.
Banjarnegara
3. Kab. Kebumen
Jawa
Tengah VIII
8 1. Kab. Cilacap
2. Kab. Banyumas
Jawa
Tengah IX
8 1. Kab. Tegal
2. Kab. Brebes
3. Kota Tegal
Jawa
Tengah X
7 1. Kab. Batang
2. Kab. Pekalongan
3. Kab. Pemalang
4. Kota Pekalongan
15. Daerah
Istimewa
Yogyakarta
8 Daerah
Istimewa
Yogyakarta
8 1. Kab. Kulonprogo
2. Kab. Bantul
3. Kab. Gunung
Kidul
4. Kab. Sleman
5. Kota Yogyakarta
Jawa Timur
I
10 1. Kota Surabaya
2. Kab. Sidoarjo
Jawa Timur
II
7 1. Kab. Pasuruan
2. Kota Probolinggo
3. Kota Pasuruan
4. Kab. Probolinggo
Jawa Timur
III
7 1. Kab. Bondowoso
2. Kab. Banyuwangi
3. Kab. Situbondo
Jawa Timur
IV
8 1. Kab. Lumajang
2. Kab. Jember
Jawa Timur
V
8 1. Kota Malang
2. Kota Batu
3. Kab. Malang
16.
Jawa Timur
87
Jawa Timur
VI
9 1. Kab.
Tulungagung
2. Kota Kediri
3. Kota Blitar . . .
- 10 -
NO. PROVINSI
JUMLAH
KURSI
NAMA
DAPIL
JUMLAH
KURSI
PER DAPIL
WILAYAH DAPIL
(Nama Kabupaten/Kota)
Kabupaten/Kota)
3. Kota Blitar
4. Kab. Kediri
5. Kab. Blitar
Jawa Timur
VII
8 1. Kab. Pacitan
2. Kab. Ponorogo
3. Kab. Trenggalek
4. Kab. Magetan
5. Kab. Ngawi
Jawa Timur
VIII
10 1. Kab. Jombang
2. Kab. Nganjuk
3. Kab. Madiun
4. Kota Mojokerto
5. Kota Madiun
6. Kab. Mojokerto
Jawa Timur
IX
6 1. Kab. Bojonegoro
2. Kab. Tuban
Jawa Timur
X
6 1. Kab. Lamongan
2. Kab. Gresik
Jawa Timur
XI
8 1. Kab. Bangkalan
2. Kab. Pamekasan
3. Kab. Sampang
4. Kab. Sumenep
17. Bali 9 Bali 9 1. Kab. Jembrana
2. Kab. Tabanan
3. Kab. Badung
4. Kab. Gianyar
5. Kab. Klungkung
6. Kab. Bangli
7. Kab. Karangasem
8. Kab. Buleleng
9. Kota Denpasar
18. Nusa
Tenggara
Barat
10 Nusa
Tenggara
Barat
10 1. Kab. Lombok
Barat
2. Kab. Lombok
Tengah
3. Kab. Lombok . . .
- 11 -
NO. PROVINSI
JUMLAH
KURSI
NAMA
DAPIL
JUMLAH
KURSI
PER DAPIL
WILAYAH DAPIL
(Nama Kabupaten/Kota)
Kabupaten/Kota)
3. Kab. Lombok
Timur
4. Kab. Sumbawa
5. Kab. Sumbawa
Barat
6. Kab. Dompu
7. Kab. Bima
8. Kota Mataram
9. Kota Bima
Nusa
Tenggara
Timur I
6 1. Kab. Manggarai
Barat
2. Kab. Manggarai
3. Kab. Ngada
4. Kab. Ende
5. Kab. Sikka
6. Kab. Flores
Timur
7. Kab. Lembata
8. Kab. Alor
9. Kab. Nagekeo
10. Kab. Manggarai
Timur
19. Nusa
Tenggara
Timur
13
Nusa
Tenggara
Timur II
7 1. Kab. Sumba
Barat
2. Kab. Sumba
Tengah
3. Kab. Sumba
Barat Daya
4. Kab. Sumba
Timur
5. Kab. Rote Ndao
6. Kab. Kupang
7. Kota Kupang
8. Kab. Belu
9. Kab. Timor
Tengah Utara
10. Kab. Timor . . .
- 12 -
NO. PROVINSI
JUMLAH
KURSI
NAMA
DAPIL
JUMLAH
KURSI
PER DAPIL
WILAYAH DAPIL
(Nama Kabupaten/Kota)
Kabupaten/Kota)
10. Kab. Timor
Tengah Selatan
20. Kalimantan
Barat
10 Kalimantan
Barat
10 1. Kab. Sambas
2. Kab. Bengkayang
3. Kab. Landak
4. Kab. Pontianak
5. Kab. Sanggau
6. Kab. Sekadau
7. Kab. Ketapang
8. Kab. Sintang
9. Kab. Melawi
10. Kab. Kapuas
Hulu
11. Kota Pontianak
12. Kota Singkawang
13. Kab. Kayong
Utara
14. Kab. Kubu Raya
21. Kalimantan
Tengah
6 Kalimantan
Tengah
6 1. Kab.
Kotawaringin
Barat
2. Kab.
Kotawaringin
Timur
3. Kab. Kapuas
4. Kab. Barito
Selatan
5. Kab. Barito Utara
6. Kab. Sukamara
7. Kab. Lamandau
8. Kab. Seruyan
9. Kab. Katingan
10. Kab. Pulang
Pisau
11. Kab. Gunung
Mas
12. Kab. Barito . . .
- 13 -
NO. PROVINSI
JUMLAH
KURSI
NAMA
DAPIL
JUMLAH
KURSI
PER DAPIL
WILAYAH DAPIL
(Nama Kabupaten/Kota)
Kabupaten/Kota)
12. Kab. Barito
Timur
13. Kab. Murung
Raya
14. Kota
Palangkaraya
Kalimantan
Selatan I
6 1. Kab. Banjar
2. Kab. Barito Kuala
3. Kab. Tapin
4. Kab. Hulu Sungai
Selatan
5. Kab. Hulu Sungai
Tengah
6. Kab. Hulu Sungai
Utara
7. Kab. Tabalong
8. Kab. Balangan
22. Kalimantan
Selatan
11
Kalimantan
Selatan II
5 1. Kab. Tanah Laut
2. Kab. Kota Baru
3. Kab. Tanah
Bumbu
4. Kota Banjarmasin
5. Kota Banjar Baru
23. Kalimantan
Timur
8 Kalimantan
Timur
8 1. Kab. Paser
2. Kab. Kutai Barat
3. Kab. Kutai
Kartanegara
4. Kab. Kutai Timur
5. Kab. Berau
6. Kab. Malinau
7. Kab. Bulungan
8. Kab. Nunukan
9. Kab. Penajam
Paser Utara
10. Kota Balikpapan
11. Kota Samarinda
12. Kota Tarakan
13. Kota Bontang . . .
- 14 -
NO. PROVINSI
JUMLAH
KURSI
NAMA
DAPIL
JUMLAH
KURSI
PER DAPIL
WILAYAH DAPIL
(Nama Kabupaten/Kota)
Kabupaten/Kota)
13. Kota Bontang
14. Kab. Tana Tidung
24. Sulawesi
Utara
6 Sulawesi
Utara
6 1. Kab. Bolaang
Mongondow
2. Kab. Minahasa
3. Kab. Minahasa
Utara
4. Kab. Kepulauan
Sangihe
5. Kab. Kepulauan
Talaud
6. Kab. Minahasa
Selatan
7. Kota Manado
8. Kota Bitung
9. Kota Tomohon
10. Kab. Minahasa
Tenggara
11. Kab. Bolaang
Mongondow
Utara
12. Kab. Siau
Tagulandang
Biaro
13. Kota Kotamobagu
25. Gorontalo 3 Gorontalo 3 1. Kab. Boalemo
2. Kab. Gorontalo
3. Kab. Pohuwato
4. Kab. Bone
Bolango
5. Kota Gorontalo
6. Kab. Gorontalo
Utara
26. Sulawesi
Tengah
6 Sulawesi
Tengah
6 1. Kab. Banggai
Kepulauan
2. Kab. Banggai
3. Kab. Morowali . . .
- 15 -
NO. PROVINSI
JUMLAH
KURSI
NAMA
DAPIL
JUMLAH
KURSI
PER DAPIL
WILAYAH DAPIL
(Nama Kabupaten/Kota)
Kabupaten/Kota)
3. Kab. Morowali
4. Kab. Poso
5. Kab. Tojo Unauna
6. Kab. Donggala
7. Kab. Toli-Toli
8. Kab. Buol
9. Kab. Parigi
Moutong
10. Kota Palu
Sulawesi
Selatan I
8 1. Kab. Selayar
2. Kab. Bantaeng
3. Kab. Jeneponto
4. Kab. Takalar
5. Kab. Gowa
6. Kota Makassar
Sulawesi
Selatan II
9 1. Kab. Sinjai
2. Kab. Bone
3. Kab. Maros
4. Kab. Bulukumba
5. Kab. Pangkajene
Kepulauan
6. Kab. Barru
7. Kota Pare Pare
8. Kab. Soppeng
9. Kab. Wajo
27.
Sulawesi
Selatan
24
Sulawesi
Selatan III
7
1. Kab. Sidenrang
Rapang
2. Kab. Enrekang
3. Kab. Luwu
4. Kab. Tanah
Toraja
5. Kab. Luwu Utara
6. Kab. Luwu Timur
7. Kab. Pinrang
8. Kota Palopo
28. Sulawesi . . .
- 16 -
NO. PROVINSI
JUMLAH
KURSI
NAMA
DAPIL
JUMLAH
KURSI
PER DAPIL
WILAYAH DAPIL
(Nama Kabupaten/Kota)
Kabupaten/Kota)
28. Sulawesi
Tenggara
5 Sulawesi
Tenggara
5 1. Kab. Buton
2. Kab. Wakatobi
3. Kab. Bombana
4. Kab. Muna
5. Kab. Konawe
6. Kab. Kolaka
7. Kab. Kolaka
Utara
8. Kab. Konawe
Selatan
9. Kota Kendari
10. Kota Bau Bau
11. Kab. Konawe
Utara
12. Kab. Buton Utara
29. Sulawesi
Barat
3 Sulawesi
Barat
3 1. Kab. Mamuju
Utara
2. Kab. Mamuju
3. Kab. Mamasa
4. Kab. Polewali
Mamasa
5. Kab. Majene
30. Maluku 4 Maluku 4 1. Kab. Maluku
Tenggara Barat
2. Kab. Maluku
Tenggara
3. Kab. Kepulauan
Aru
4. Kab. Maluku
Tengah
5. Kab. Seram
Bagian Barat
6. Kab. Seram
Bagian Timur
7. Kab. Buru
8. Kota Ambon
9. Kota Tual
31. Maluku . . .
- 17 -
NO. PROVINSI
JUMLAH
KURSI
NAMA
DAPIL
JUMLAH
KURSI
PER DAPIL
WILAYAH DAPIL
(Nama Kabupaten/Kota)
Kabupaten/Kota)
31. Maluku Utara 3 Maluku
Utara
3 1. Kab. Halmahera
Barat
2. Kab. Halmahera
Tengah
3. Kab. Kepulauan
Sula
4. Kab. Halmahera
Selatan
5. Kab. Halmahera
Utara
6. Kab. Halmahera
Timur
7. Kota Ternate
8. Kota Tidore
Kepulauan
32. Papua 10 Papua 10 1. Kab. Merauke
2. Kab. Jayawijaya
3. Kab. Jayapura
4. Kab. Nabire
5. Kab. Yapen
Waropen
6. Kab. Biak
Numfor
7. Kab. Supiori
8. Kab. Paniai
9. Kab. Puncak
Jaya
10. Kab. Mimika
11. Kab. Boven Digul
12. Kab. Mappi
13. Kab. Asmat
14. Kab. Yahukimo
15. Kab. Pegunungan
Bintang
16. Kab. Tolikara
17. Kab. Sarmi
18. Kab. Keerom
19. Kab. Waropen . . .
- 18 -
NO. PROVINSI
JUMLAH
KURSI
NAMA
DAPIL
JUMLAH
KURSI
PER DAPIL
WILAYAH DAPIL
(Nama Kabupaten/Kota)
Kabupaten/Kota)
19. Kab. Waropen
20. Kota Jayapura
21. Kab. Mamberamo
Raya
22. Kab. Yalimo
23. Kab. Mamberamo
Tengah
24. Kab. Nduga
25. Kab. Lanny Jaya
26. Kab. Puncak
27. Kab. Dogiyai
33. Papua Barat 3 Papua Barat 3 1. Kab. Fak-fak
2. Kab. Sorong
3. Kab. Manokwari
4. Kab. Kaimana
5. Kab. Sorong
Selatan
6. Kab. Raja Ampat
7. Kab. Teluk
Bintuni
8. Kab. Teluk
Wondama
9. Kota Sorong
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Wisnu Setiawan

Comments