Otoda dan Tata Kelautan di Era FTZ 

OTONOMI DAERAH DAN PENGELOLAAN TATA KELAUTAN DAN KAWASAN PANTAI DI ERA BATAM FTZ-FP (FREE TRADE ZONE DAN FREE PORT) 

Oleh
H.Syamsul Bahrum, PhD 

Memetakan Potensi, Menyusun Rencana Aksi 

Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state), yang berwawasan nusantara dan memiliki wilayah perairan (territorial waters) atau seluas 3,1 juta km2, ditambah dengan ZEE-I Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia 2,7 juta km2 (UNCLOS/United Nation Convention on the Law of the Sea- tahun 1982 meratifikasi yurisdiksi ZEE ini yakni 200 mill laut dari ujung pulau terluar) sehingga 5,8 km2 Dalam cacatan World Resources Institute, 2001, panjang pantai Indonesia mencapai 98,181 km dengan gugusan 17,504 pulau yang diestimasi 12,000 belum berpenghuni (inhabited islands). Dari data ini, wajar saja Kepulauan Nusantara, ibarat rangkaian mutiara manikam dikenal dengan ”the archipelagic state, dan dengan panjang pantai yang menakjubkan Indonesia menjadi ”the coastal nation”, apalagi hampir 75 % (5,8 juta km2) wilayah Indonesia terdiri dari perairan (marine waters). Diperkirakan, 80 % aktifitas penduduk yang berdomisili di wilayah pulau dan pantai berkaitan dengan sumber daya lautan, yang dalam acatan World Resources Institute (2001) hampir 60 % penduduk Indonesia tinggal dalam radius 50 km2 dari garis dan sekitar pantai. 
Namun meskipun secara nasional 24 % Gross Domestic Bruto bersumber dari industri maritim dan kelautan yang menurut catatan Departemen Kelautan dan Perikanan menciptakan lebih dari 16 juta lapangan kerja, namun dalam strata ekonomi, tingkat kemiskinan yang paling besar (the poorest of the poor) justru di pedesaan nelayan. Namun potensi ini telah dieksploitasi secara illegal. Dalam cacatan direlease oleh Departemen Perikanan, Kelautan dan Pulau-pulau Kecil (2005) negara telah dirugikan karena illegal fishing mencapai US.$.1 milliar. Dalam tataran geo-strategis, Kepulauan Indonesia juga perlu mendapat perhatian serius. Karena secara oceano-geografis, Indonesia memiliki empat dari tujuh jalur pelayaran internasional lalu lintas damai (innocent passage) yang harus diawasi. Jalur pelayaran internasional (choke points) ini adalah Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, Perairan Ombai, Terusan Suez, Terusan Panama dan Selat Gibraltar. Di Indonesia dikenal pula dengan ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia). Tentang “hak lalu lintas laut damai” diatur dalam PP.No.8 Tahun 1962. 
Disamping itu masih banyak pulau-pulau terujung di wilayah perbatasan yang perlu mendapat perhatian. Sekali pulau ini lenyap dalam peta yurisdiksi Indonesia, maka kedaulatan negara dari sisi kelautan akan hilang dan secara ekonomi ZEE akan mengecil. Pulau Sekatung bias saja dipetakan dalam yurisdiksi Vietnam. Perlu dicatat bahwa pulau ini berada berdekatan di ”hot spot” atau ”conflict area” di Kepulauan Sparatly yang secara tumpang tindih dikalim bersama oleh China, Vietnam dan Malaysia. 

Geo-socioekonomi Kepulauan Riau dan Perlunya Tata Kelola Kelautan

Propinsi Kepri yang dibentuk dengan UU.No.25/2002 diresmikan tanggal 1 Juli 2004. Luas wilayah Propinsi Kepri adalah 251,810.71 Km2 dan sebahagian besar atau 251,215.41 Km2 (95,75 %) merupakan lautan, dan hanya 4,21 % (10,595.41 Km2) terdiri dari daratan. Oleh karenanya secara geo-phisikal daerah ini dapat julukan ”Propinsi Basah. Formasi lima gugusan kepulauan besar seperti Batam, Bintan, Karimun, Singkep, dan Natuna, merupakan cakupan yurisdiksi Propinsi Kepri. Propinsi ”Segantang Lada” ini memiliki 2.408 pulau (Hasil Survei Departemen Perikanan, Kelautan dan Pulau-Pulau Kecil tahun 2005). Propinsi ”Tak Punah Melayu di Bumi” ini masih membutuhkan berbagai fasilitas agar pemerataan pembangunan dapat dipenuhi. Sektor perhubungan masih membutuhkan dana yang besar, sektor pendidikan dan kesehatan masih menjadi prioritas. 
Terdapat 12 buah pulau-pulau terluar (border isles) di wilayah perairan Natuna dengan rincian di sebelah Barat (Pulau Tokong Berlayar, Pulau Tokong Nanas, Pulau Mangkai, Pulau Damar, Pulau Tokong Malang Biru), sebelah Utara seperti Pulau Tokong Boro, Pulau Semiun, Pulau Laut dan Pulau Sekatung. Sedangkan di belahan Timur Natuna terdapat Pulau Senoa, Pulau Subi Kecil dan Pulau Kepala. Sisi pengamanan geo-ekonomi lain adalah bahwa daerah ini kaya akan gas (LNG) dengan deposit 210 triliun cubic feet (TFC) equivalent dengan 6,7 juta barrel minyak petrolium. Posisi cadangan minyak mentah Indonesia yang dicatat oleh BP Migas (2005) memasukkan potensi gas Natuna bervolume 408 MMBO. Melalui beberapa perusahaan asing Conoco Philips Inc., Premier Oil Natuna Sea Ltd, dan Gulf Resources Ltd. sejumlah 57.05 juta MSCE LNG diproduksi dan diekspor ke Singapura melalui underground pipeline sepanjang 600 km. Mengingat potensi ini, maka orientasi pembangunan di Kepulauan Riau khususnya adalah (1) Mengamankan titik terluar yurisdiksi (2). Mengekspoitasi sumberdaya alam untuk kesejahteraan masyarakat lokal, dan (3). Mengembangkan sector kelautan (marine dan maritime). 

FTZ-Free Port ; Kawasan Ekonomi Khusus di Daerah Otonom

FTZ di sepuluh kawasan potensial, jika diterapkan di daerah otonom merupakan format baru hubungan Pusat-Daerah dalam kebijakan ekonomi makro nasional ditataran lokal. Idealnya FTZ jika diterapkan secara konsisten di Daerah akan semakin memperkuat pembangunan dan otonomi Daerah. Salah syarat penting agar ini tercapai adalah dengan melibatkan Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten atau Kota baik dalam formulasi, implementasi dan supervise kebijakan public di sector ekonomi makro ini. Tidak kalah penting adalah FTZ harus mendapat respons dari Kadin, Apindo, HKI, REI, ARSITA, atau berbagai asosiasi social dan masyarakat. FTZ dalam perspektif ini, paralel dengan interkoneksi kewenangan Pusat dan Daerah di tiga lini utama yakni kesatuan wilayah pembangunan (territorial dimension), kejelasan hubungan fungsional dan kewenangan (authoritative function), dan perimbangan manfaat dan pendapatan atau keuangan (financial balancing). Oleh karenanya, sebaiknya FTZ masuk dalam kerangka tugas otonomi (tugas Pemerintah Daerah di Daerah otonom) dicapai melalui fungsi dekonsentrasi (tugas Pemerintah Pusat di Daerah otonom) atau dilimpahkan ke daerah dalam pengelolannya. Karena hanya Daerah tertentu yang mendapat fasilitas FTZ, maka ia menjadi “Additional Autonomy” dan Otonomi Khusus dari perspektif ekonomi. FTZ di daerah identik dengan “Otonomi Plus”. FTZ dalam konteks ini secara teritorial akan membuka daerah investasi baru (new investable areas) dan secara sektoral akan memperkuat sektor industri, perdagangan dan jasa yang sudah ada ditambah peluang masuknya investasi baru (new investable sectors).
SEZ dalam kata lain adalah implementasi fungsi dekonsentrasi (Pusat) di sektor ekonomi stratejik di Daerah dibantu oleh aparatur Pemerintah Daerah. Hal ini sejalan dengan UU.No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal (9) bahwa di Daerah Otonom dapat dibentuk suatu ”Kawasan Khusus”. Jika Kawasan tersebut berbentuk Kawasan Berikat, Daerah Otorita yang terbatas atau sejenis cukup diatur dengan Peraturan Pemerintah. Tetapi apabila dalam bentuk FTZ atau Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas harus dengan Undang-undang. Dalam konteks ini hal yang perlu disikapi adalah konsep awal SEZ berubah berkategori FTZ atau bukan sekedar kebijakan politik ekonomi makro-nasional yang terbatas pada kebijakan fiscal dan moneter tertentu di Kawasan tertentu. FTZ juga harus berada dalam hubungan efektif pemerintahan. Prinsip hubungan kepemerintahan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 bahwa prinsip-prinsip hubungan kewenangan (pembagian urusan) antara Pusat dan Daerah, antara lain yakni : (a) Tujuan otonomi seluas-luasnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum dan daya saing daerah (Pasal 2 ayat (3). (b). Hubungan pemerintahan daerah dengan Pemerintah dan Pemerintahan Daerah lainnya terdiri dari hubungan bidang keuangan, bidang pelayanan umum dan bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya (Pasal 2 ayat 4, Pasal 15, 16 dan 17) (c). Pembagian penyelenggaraan urusan pemerintahan didasarkan atas kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi (Pasal 11). FTZ idealnya berada dalam kerangka hubungan normatif dan efektif ini sehingga FTZ dapat dirasakan bersama baik oleh Pemerintah Pusat dan Daerah serta pemangku pembangunan selaku pelaku dan pemanfaatan FTZ sebagai bagian dari strategi pembangunan ekonomi nasional di tataran lokal. 

FTZ-FP dalam Perspektif Penataan Manajemen Kelautan dan Kepelabuhanan

Keberhasilan FTZ-Free Port sangat ditentukan dalam kemampuan suatu Kawasan menyediakan infrastruktur. Salah satu infrastruktur yang harus disiapkan dengan baik dan dikelola dengan benar adalah dibidang kepelabuhanan dan pelayaran yang didalamnya juga terdapat moda transportasi. Pemerintah (Pusat-Daerah) diharapkan bersinergi dalam pengembangan sarana dan prasarana kepelabuhanan dan pelayaran. Fungsi-fungsi kelautan yang melekat dimensi kepelabuhanan dan pelayaran secara otoritatif harus tegas antara tugas-tugas bersifat struktural formal (regulator) dan fungsi-fungsi komersial (operator). Fungsi-fungsi berdimensi regulasi (Administrator Pelabuhan) seperti kesyahbandaran, keamanan pelabuhan dan lalu lintas angkutan laut, harus secara tegas ditata karena adanya fungsi operasional-komersial dalam melaksanakan pemungutan labuh/tambat dan dermaga, pemungutan dalam penundaan kapal dan pungutan pas pelabuhan. 
Di era Batam FTZ, fungsi Dewan Kawasan FTZ-P yang secara institutional-autoritatif (regulator), secara operasional-implementatif akan dilaksanakan oleh Badan Pengusahaan (operator). Pemahaman ini penting karena kita berbicara tentang Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Jadi terdapat kewenangan dalam seluruh pelabuhan yang diketorikan bebas. Karena dalam Perppu No.1 Tahun 2000 yang kemudian menjadi UU.No.36 Tahun 2000 dan diubah dengan Perppu No.1 Tahun 2007 tentunya menempatkan aspek lintas perdagangan internasional berdimensi stratejik. Mengingat posisi dan karakteristik Indonesia sebagai negara kepulauan, maka aspek kelautan, kepelabuhanan dan pelayaran menjadi vital sebagai “exit point” transaksi komoditas perdagangan untuk aktivitas impor-ekspor dan juga dan lalu lintas orang. Volume perdagangan akan meningkat sejalan peningkatan investasi dan perdagangan serta mobilitas penduduk dan kunjungan wisatawan.  Apalagi dalam Perppu No 1/2007 dalam fungsi Kawasan bahwa kegiatan yang berkaitan dengan kepelabuhan disebut dengan jelas misalnya perdagangan, maritim, transportasi, industri, perikanan, dan perhubungan.
Institusi yang bergerak di sektor kelautan (pelayaran dan kepelabuhanan) dalam hal ini harus memahami hal-hal yang menyangkut pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari KPB-PB (Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas). Free Port dalam FTZ akan ditentukan Pemerintah, tentunya tidak semua pelabuhan ada persyaratan administratif dan teknis yang harus dipenuhi. Bea Cukai di FTZ-FP hanya mensupervisi karena adanya pembebasan bea masuk, pembebasan pajak pertambahan nilai, pembebasan pajak penjualan atas barang mewah, dna pembebasan cukai. Namun dalam proses expor-impor tetap berlaku tata laksana kepabeanan dibidang impor-ekspor. Aspek kepelabuhanan lainnya adalah dalam karantina (manusia, hewan, ikan dan tumbuh-tumbuhan) tetap berlaku. Dalam Perppu FTZ juga diatur bahwa Badan Pengusahan FTZ-FP dengan persetujuan Dewan Kawasan FTZ-FP dapat “mengadakan peraturan dibidang tata tertib pelayaran dan penerbangan, lalu lintas barang di pelabuhan dan penyediaan fasilitas pelabuhan, dan lain sebagainya serta penetapan tarif untuk segala macam jasa sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku” Yang harus menjadi fokus adalah bagaimana FTZ yang secara kelembagaan otoritatif berada dalam kewenangan Dewan Kawasan yang selanjutnya dilaksnakan oleh Badan Pengusahaan dapat mengintegrasikan aspek-aspek yang berkaitan dengan tata kelautan yang memuat sisi pearairan, kepelabuhanan, dan perhubungan atau pengangkutan. Dua hal yang perlu menjadi pokok bahasan adalah bagaimana FTZ-FP dalam kaitannya dengan dimensi kelautan khususnya sisi perairan dan kepelabuhanan mampu mewujudkan dua kepentingan yang terintegrasi antara upaya mensejahterakan masyaralat (prosperity ydimension) dengan menjaga ketahanan dan kedaulatan negara (security dimension). Tentunya pemahaman harus dimulai dari hukum maritim internasional dan nasional yang juga berkaitan dengan hukum privat/perdata (penekanan dari sisi kesejahteraan dalam kaitannya dengan kepentingan ekonomi khususnya pelayaran niaga yang menjadi domain Departemen Perhubungan (Ditjend Laut) dan juga Pemerintah Provinsi/Kabupaten dan Kota serta memenuhi tuntutan akan adanya pengaturan yang jelas tentang hukum maritim publik yang relevansinya pada menjaga kedaulatan dan keselamatan negara dari gatra kelautan. Disinilah perlunya peningkatan sinergi kinerja antara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam mengelola kelautan dan kepelabuhanan khususnya di era Batam FTZ-FP dan partisipasi seluruh stake holder khususnya dibidang kelautan, pelayaran dan kepelabuhanan dalam mensukseskan FTZ-FP.

Comments